Senin, 28 Maret 2011

sebuah kritik sastra feminisme

Gerakan Gender Sastra Kita
Oleh Zubaidi Duncan Zu_ Reporter Rem fm UNNES
Feminisme muncul dengan adanya sebuah pemikiran dari para wanita yang ingin menempatkan dirinya sejajar dengan laki-laki di berbagai aspek kehidupan , memiliki hak yang sama. Sejalan dengan hal tersebut di berbagai belahan dunia muncul gerakan-gerakan untuk mencoba menggeser superioritas laki-laki terhadap perempuan. Gerakan ini kini sudah bisa dipandang tampak menunjukkan hasil-hasil dari perjuangannya. Posisi perempuan sudah bisa sejajar dengan laki-laki. Ya, gerakan ini tentunya berhasil dengan dukungan segenap kesatuan masyarakat untuk memecah paradigma lama dan mencoba merekonstruksi paradigma baru yang menjadikan posisi wanita tidak lagi berada dalam bayang-bayang laki-laki.
Feminisme sudah merambah ke berbagai aspek kehidupan dan budaya masyarakat, termasuk di bidang seni dan sastra. Sastra dan kritik feminism sudah muncul beberapa puluh tahun silam dengan salah satu penggagasnya yakni Madam Cixous yang menegaskan para perempuan untuk menulis tentang diri mereka. Lalu di Negara-negara lain pun mengikuti perkembagan sastra di bidang feminism itu sendiri, bahkan sebelumnya juga gerakan-gerakan seperti ini sudah ada.
Tentunya gambaran gerakan ini dalam bidang sastra sendiri tampak jelas sangat berbeda apabila penulis sastra adalah seorang perempuan. Dengan kodratnya sebagai wanita, mereka mampu merepresentasikan diri mereka sendiri tanpa harus mengenal batas-batas patriarchal yang selalu membelenggu mereka, sebaliknya akan tampak berbeda jika yang menulis adalah seorang pengarang laki-laki. Pengarang laki-laki pasti akan menyorot dengat sudut pandangnya sebagai laki-laki karena pada hakikatnya ia adalah laki-laki, sekalipun ia adalah seorang yang mendukung gerakan feminisme.
Gerkan feminism di Indonesia sudah dimulai sejak masih dalam ranah kolonialisme dimana lahir seorang bangsawan jawa bernama Kartini. Lalu ada Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia yang terjun langsung dalam memimpin pertempuran gerilya melawan kolonilis. Sementara dalam bidang sastra, feminisme juga sudah mulai terasa pada saat kolonialisasi diambil alih bangsa dari negeri sakura. Sebut saja Maria Amin, seorang penyair yang hidup di zaman itu ia telah berhasil membuat puisi prosais yang belum ada sebelumnya di Indonesia. Akan tetapi ia tak begitu banyak dibahas dalam kritik. Kritik lebih suka menyebut Chairil yang membawa perubahan besar perpuisian Indonesia. Padahal sebelumnya Maria Amin sudah mendahuli Chairil dalam pembuatan puisi yang bebas.
Lalu berkembang lagi di era Balai Pustaka dengan lahirnya belenggu dan layar terkembang. Namun dua novel ini lahir dari tangan laki-laki sehingga sudut pandangnya pun tak lain juga dari laki-laki. Sementara sekarang sudah mulai banyak terekspos karya-karya dari tangan perempuan yang dapat membuat lega kalangan feminis. Sebutlah NH Dini, Titie Said, Titis Basino, Poppy Hutagalung, dan Isma Sawitri. Kemudian di awal abad 21 ini hadir juga meramaikan khazanah gerakan feminism dalam sastra kita bahkan membuat geger beberapa fihak. Beberapa pengarang wanita seperti Ayu Utami, Dewi Lestari berbicara dengan lugas dan penggambaran yang real dan bebas mengenai wanita dalam hal yang paling intim dan seksualitas lewat karya-karyanya.
Setiap perkembangan sastra pasti tak akan luput dengan berkembangnya kritik terhadap sastra. Karena kritik-kritik ini lahir untuk memompa kreatifitas kesusastraan supaya lebih berkembang dan semakin bertambah baik. Krtik-kritik ini juga akan melahirkan teori-teri sastra dan akan ikut serta menjaga sejarah sastra. Sastra angkatan 2000 ini pada akirnya mendapat tantangan keras dari berbagai fihak, sesama sastrawan,budayawan serta para kritikus sastra itu sendiri. Hal ini dikarenakan penulis-penulis tersebut melakukan suatu terobosan yang mungkin terlalu jauh ke depan dimana belum saatnya serta kemungkinan tidak pas kalau diaplikasikan di ranah nasional kita sebagai bangsa timur.
Lahirnya novel-novel seperti karya Ayu Utaami ini juga tidak luput karena pengaruh era yang semakin tanpa batas, era global. Era dimana informasi dari belahan dunia yang sangat jauh seperti hanya terjadi di samping rumah kita. Pertukaran informasi dan budaya semakin begitu cepat. Maka jikalau di Negara barat misalnya gerakan feminisme sudah mencapai titik tinggi maka di Negara lain pun juga bisa seperti itu. Dan seakan gerakan yang dulunya hanya sebagai gerakan kecil terpecah-pecah di masing-masing Negara, kini sudah mengglobal sebagai satu gerakan seluruh wanita di dunia.
Kembali kepada sastra feminisme Indonesia angkatan 2000 ini agaknya memang perlu untuk dibicarakan lagi sebagai sarana dialogis dalam budaya sehingga bukan pertentangan yang diharapkan melainkan hasil dari yang disepakati berbagai kepentingan. Khazanah budaya Indonesia yang didalamnya terdapat budaya-budaya lokal agaknya akan lebih menarik bila digambarkan dalam karya-karya sastra. Sehingga tidak gambaran wanita secara umum tapi ada kekususan dan keunikan yang justru akan bisa mengangkat budaya nasional kita, tidak melebur dan tereduksi dalam budaya dunia yang tak jelas arahnya.
Sebuah kelegaan karena novel yang beraliran feminism hadir di awal tahun 2010 yang cukup menarik karena lebih mengutamakan budaya bangsa kita. De Lief De, sebuah seri kedua dari tetralogi De Winst. Tergambar beberapa tokoh wanita dalam novel itu untuk berjuang dalam aktualisasi diri. Sebut saja Sekar Prembayun seorang anak dari golongan Keraton Mataram yang terpecah menjadi empat akibat dari pengaruh kolonialisme. Beruntung dia seorang anak priyayi karena tentunya lebih berkesempatan untuk mengenyam pendidikan yang cukup tinggi. Lalu berbekal intelektual yang dimilikinya ia mulai ikut andil dalam perjuangan negeri yang sedang terjajah itu. Ini akibat pengaruh dari gerakan-gerakan pejuang Indonesia di jaman itu yang sudah mulai menggunakan media sebagai alat perjuangan. Dan Sekar hadir pula ikut menyuarakan hatinya lewat tulisan-tulisannya yang kemudian membuat ia diasingkan ke Tanah Belanda.
Selain Sekar ada lagi beberapa tokoh wanita yang menjadi point utama penggambaran perjuangan wanita dalam ranah kesetaraan gender yang diwakili oleh advokat perempuan berkebangsaan belanda bernama Kareen. Seorang Belanda yang memilih berkarir sebagai advocate dan lebih mendukung kaum terjajah. Sebuah keberanian yang besar apabila kita memperhatikan karena ia hidup di daerah jajahan. Lalu ada pula perempuan bernama Sophie yang lebih memilih kehidupan sebaga jurnalis bergaji sedikit dari pada berada dalam bayang-bayang kekayaan ayahnya yang seorang anggota parlemen.
Disinilah terdapat adanya sebuah perbedaan pada novel angkatan 2000 sebelumnya dengan novel karya Afifah Afra. Barangkali Afifah Afra lebih dikenal sebagai penulis karya fiksi berbasis agama. Namun dalam novel ini ia menyuguhkan hal lain dimana lebih menonjolkan sisi-sisi perjuangan perempuan dalam beraktualisasi diri sebagaimana sekarang ini arah itulah yang dituju oleh kaum perempuan itu sendiri sekalipun tema tentang agama terselip di dalamnya.
Nah, ini merupakan suatu yang unik. Walaupun sama-sama bergerak untuk menetang budaya patriarkhi, namun keduanya mempunyai cara yang berbeda. Hal ini juga karena background kedua penulis juga berbeda. Barang kali ayu utami lebih terpengaruh oleh globalisasi dimana batas budaya antara Negara satu dengan Negara yang lain hampir tak kentara karena budaya sekarang adalah budaya satu, Budaya Global. Pengaruh dunia global membuat semua budaya melebur jadi satu. Namun karena di era global ada Negara yang lebih unggul dibanding Negara lain maka Negara berkembang agaknya banyak yang mengekor Negara maju tanpa bangga akan budaya yang dimiliki.
Sebuah karya sastra adalah merupakan media yang paling baik untuk meyampaikan suatu ideologi karena melalui suatu karya pembaca akan dibawa ke dunia tertentu yang dapat menjadikan emosinya seperti berada dan menjadi bagian dari dunia tersebut. Pembaca akan mudah menangkap dan terpengaruh oleh ideology itu karena seolah-olah ia sangat dekat dengan ideology itu. Hal ini berbeda apabila ideology disampaikan melalui media lain. Tentu akan lebih sulit untuk mempengaruhi pembaca karena kurang adanya ikatan emosi. Sehingga apabila sastra digunakan untuk membawa gerakan feminism niscaya akan sangat mempercepat ideology itu sampai pada masyarakat.
Walaupun karya sastra dipandang baik apabila ia tidak punya maksud tertentu terkait ideology ataupun tidak secara nyata eksplisit menympaikan suatu pesan, nmamun perlu kita sadari bahwa dia adalah produk drai seorang sastrawan yang hidup dan menjadi bagian dari masyarakat. Secara tidak langsung ia akan menuli sesuatu yang berkenaan dengnmasyarakat dimana ia hidup dan ideology yang ia anut. Maka dari itu tak emnherankan jika banyak karya sastra yang lahir dengan mmbawa ideology-ideologi tertentu.
Hadirnya sastra feminis telah membawa dampak yang cukup signifikan karena pada akirnya wanita-wanita Indonesia sekarang sudah banyak kita lihat kiprahnya di ranah publik. Sebagai pemimpin juga tidak jarang kita temui sosok-sosok wanita. Namun agak ironis kalau suatu saat karena pengaruh sastra yang dinilai begitu vulgar akan mempengaruhi wanita menjadi berlebihan dan melampaui batas. Apa yang akan terjadi kalau mereka juga akan menerapkan di kehidupan nya kevulgaran-kevulagaran itu? kita harap ini tak akan pernah terjadi, semoga!
Dalam hal ini perlu adanya penyeimbang dalam khazanah sastra kita yang bergerak di bidang gender. Kalau sebagian karya menyoroti wanita dengan kevulagaran-kevulgarannya, maka di sisi lain harus ada yang menyoroti bagian lain yakni anti kevulagaran itu sendiri. Sekalipun hal ini akan mengundang banyak kontriversi. Kalau harus kembali pada anti kevulagaran, apakah itu bukan berarti kembali kepada patriarchal? Suatu tanda tanya besar yang harus dijawab oleh semua bangsa Indonesia.
Budaya patriarchal yang seperti apa yang ingin dirubah? Mungkin pertanyaan ini akan dapat membawa kita kepada jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Karena sebenarnya budaya patriarchal terhadap perempuan di negeri kita sepertinya juga sudah mulai berkurang. Mungkin kita masih bertanya-tanya tentang jodoh ataupun sekolah yang mana di desa perempuan masih ada yang dibawah bayanganbudaya belum sepenuhnya merdeka. Misalnya, di usia yang melampaui 25 jika seorang perempuan belum menikah maka akan menjadi suatu tanda Tanya besar bagi masyarakat. Seolah-olah tidak laku yang menjadi paradigm yang masih mengakar dan dianut. Namun kalau kita perhatikan lebih lanjut sekarang budaya ini sudah mulai mengaktualisasikan diri dan bisa megikuti budaya modern dengan tetap menjunjung tinggi budaya sendiri dimana jika belum menikah diusia itu sekarang ada istilah yang cukup baik yakni karena lebih memilih menjadi wanita karir.
Mengenai budaya, khususnya budaya kita yang harus kita jadikan acuan adalah bagaimana kita mampu mereinterpretasi dan melakukan dialog dengan zaman. Budaya kita bukanlah budaya yang tertinggal seperti sebagian orang persepsikan. Budaya kita justru merupakan budaya yang besar dimana ini menjadi cirri khas dari diri kita sendiri. Karena budaya itu tidak berkembang kearah yang pasti sepeerti sebua perlombaan yang ada start dan ada ending-nya. Budaya itu terbentuk dari masyarakat. Jadi disinilah perlunya pembicaraan mengenai budaya dan penfsiran kembali bagaimana seharusnya budaya yang kita miliki itu dan ke arah mana akan kita bawa tanpa adanya pertentangan-pertentangan.
Nah, jikalau budaya feminism Indonesia dapat mempunyai ciri khas tersendiri, lalu mengapa kita harus mereduksikan diri? Nah, inilah yang mungkin menjadi alternatif untuk menyuarakan gerakan gender dalam khazanah sastra kita. Kita bisa memasukkan budaya sendiri seperti yang digambarkan oleh Afifah Afra dalam novelnya itu. Di novel tersebut tergambar para perempuan Indonesia dan Belanda yang memperjuangkan idealisme mereka dengan cara-cara yang mereka bisa lakukan. Dengan cara seperti ini maka sastra kita akan mampu menjadi acuan gerakan perempuan yang benar-benar berbasis nasionalisme kita. Dalam hal ini diperlukan adanya pendefinisian ulang mengenai bagaimana wanita Indonesia di zaman sekarang dan masa depan?
Wanita Indonesia tetaplah akan menjadi wanita Indonesia sekalipun terpegaruh oleh budaya-budaya lain. Yang menjadi alternative adalah bagaimana bisa beradaptasi dengan budaya yang mempengaruhi dengan tanpa meleburkan diri sampai batas tak terkenali lagi. Sehingga novel-novel yang memperjuangkan wanita TKW, wanita Jawa yang mengenyam pendidikan sampai tingkat Doktor di luar negeri, dsb akan membuka wacana yang baik untuk membuat pemikiran semakin berkembang e arah yang pasti serta tujuan yang jelas, yakni menjadi pribadi yang unggul sejajar dengan wanita-wanita bangsa-bangsa yang dianggap lebih unggul-bangsa Barat.
Saya kitra itulah yang mungkin akn membuat gerakan gender pada sastra kita tampak jelas sebagai suatu karakter bangsa yang mempunyai ciri yang khas. Dan semoga akan ada karya-karya yang seperti Afifah Afra angkat dalam novelnya.
Di akhir tulisan ini saya berharap akan hadir karya-karya sastra kita yang mengangkat tema-tema suara perempuan yang benar-benar mengangkat budaya perempuan Indonesia masa kini dengan tanpa mereduksi ke budaya lain sekalipun budaya lain tampak lebih unggul di mata sebagian orang. Karena dengan begitu sastra kita akan dapat menjadi simbol dari bangsa kita sendiri, bukan? Semoga tuisan ini dapat menjadi bahan perenungan ulang untuk kebudayaan kita di masa mendatang-dalam karya-karya fiksi tahun-tahun ke depan. Harapan saya akan adanya feedback terhadap tulisan saya ini akan dapat membantu saya untuk lebih memahami budaya sendiri khususnya tentang perempuan dari sudut pandang orang lain. Trima kasih…..

cerpen berkaitan dengan psikologi dan kehidupan

Dunia ketidakpastian kau dan aku
Aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan di malam yang terlanjur hujan sudah mereda ini. Kukirimkan sebait kalimat untukmu. Kaupun membalasnya dengan segera dan kau bilang sedang mendengarkan lagu-lagu yang kau sukai yang sebenarmya adalah lagu yang sama kusuka. Kau bilang kau sedang menulis sesuatu sedangkan aku tak tahu apa yang sedang kau tulis karena saat aku sudah membalas sms yang ketiga dan sudah kukirim kepadamu, justru kau tak membalasnya lagi. Kau raib. Menghilang di saat sebenarnya aku ingin kau hadir malam ini untuk menemani kesendirianku. Sedang apakah dirimu? Aku yakin kamu belum terlelap oleh dewa mimpi yang membawamu kedalam mimpi di sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga bewarna warni serta dihinggapi berbagai macam kupu-kupu yang setiap orang ingin menangkapnya.
Kau sedang duduk sendirian di taman itu sedang menunggu seseorang tanpa kepastian namun hanya keyakinan akan ada yang datang. Dan saat kau berbalik dari arahmu yang semula, tiba-tiba datang seorang pangeran yang menaiki seekor kuda putih dengan segenggam mawar merah muda dalam balutan plastik kertas bewarna biru, warna yang paling kau suka. Pangeran tadi datang kepadamu dan mengajakmu naik di atas pelana kudanya yang bewarna putih bersih nan suci. Dan saat pangeran tadi membawamu menyusuri sungai yang alirannya tak begitu deras karena musim hujan sudah tak lagi hadir menemani, tiba-tiba kau terbangun dan kau temukan dirimu sedang duduk termenung dalam lamunan dengan perhatianmu kembali kepada hp yang sedari tadi masih kau genggam dalam tangan kirimu, bukan mawar merah pemberian kekasih yang kau tunggu, tak kunjung tanpa kepastian.
Aku tulis beberapa bait lagi dalam layar ini tapi kuurungkan untuk mengirimnya kepadamu karena aku tahu kau sedang tak ingin membacanya sekalipun sebenarnya kamu ingin dan sedang menantikannya. Barangkali moment yang belum pas. Karena kau sedang menunggu dan orang yang sedang kau tunggu ternyata juga sedang menunggumu dalam kepastiaannya. Namun kepastiaannya tak sama dengan kepastian yang kau harapkan sehingga kau menginginkan sebuah kejelasan darinya. Namun dia tak kunjung menerima sinyal-sinyal yang telah kau sampaikan lewat aliran udara bebas, lewat air embun di pagi buta serta lewat tanah yang selalu kau injak saat kau masih kecil.
Tapi memang begitulah aku adanya. Aku tetap akan menunggumu sekalipun aku tak bisa memberi sebuah kepastian karena di dunia ini tak ada yang pasti sebelum benar-benar terjadi. Semuanya tampak abstrak dan hanya hidup dalam kira-kira. Hidup dalam ketidakmenentuan. Hanya kemungkinan yang masih bisa dipegang dan dipertahankan. Dan aku lebih memilih kemungkinan yang bagimu seperti air yang digodog dalam periuk tanpa api yang menyala. Hanya tungku yang diam saja. Seperti itulah aku percaya bahwa air yang digodog tadi pasti akan masak tapi masih menunggu lama karena api belum juga menyala disana. Barangkali api itu adalah kamu sementara tungku itulah aku yang sedang menunggumu, sementara air yang akan dimasak itulah cinta yang sedang aku dan kau akan semai bersama suatu saat. Tinggal menunggu waktu kapan Tuhan akan menjawab doaku serta doamu.

Pagi ini langit tak secerah biasanya. Padahal ini sudah terhitung bulan musim dimana mentari akan bersinar terik membakar apa yang ada di bumi. Tapi tampaknya mentari begitu hafal kapan dia harus muncul dan kapan dia harus bersembunyi dibalik tirai hitam, bukan tirai kuning yang selalu kau gunakan untuk bersembunyi dalam penantian di malam-malam sepi menunggu seseorang untuk membukanya, salah satunya adalah aku yang kau harapkan untuk membukanya lalu membawamu ke alam ketidak sadaran, linglung dan lupa akan segalanya.
Pagi ini, karena langit sedang bersedih maka mentari lebih pragmatig dan tahu diri membiarkan langit untuk menikmati kesedihannya dan tak mau mengganggunya. Sesekali angin lumayan kencang membantu sesenggukan langit biar ia benar-benar tampak sedang bersedih, lalu rintik air matanya turun dengan perlahan tapi penuh kepastian. Ya,kepastian ketika ia sedih maka ia akan mengeluarkan air matanya lewat mega-mega hitam yang menggelantung di mukanya. Ini beda dengan dirimu di pagi ini. Kau tetap seperti biasa sudah tak serapuh dulu kala. Kau sudah menemukan resep untuk mengarungi perjalanan kehidupan yang tak menentu dengan penuh keyakinan. Padahal dulu kau sangat rapuh dan selalu jatuh.
Ya, benar! kekuatan itu pastilah akan datang serta membuatmu lebih bisa tegar dalam dunia ini. Namun sepertinya resep itu tak mau bekerja di pagi ini. Kau coba untuk menenangkan diri dengan lamunan sambil mendengarkan lagu-lagu yang aku dan kau suka. Lagu-lagu yang menjadi kenangan bagi kita dan seakan de javu akan berulang untuk kesekian kalinya walaupun hanya dalam lamunan. Kau tetap terdiam, katamu sambil mengirim lagi pesan yang segera membangunkanku dari lamunanku tentang kenangan itu.
“pak zu….”
Sebuah pesan singkat yang menunjukkan kegalauanmu.
“Iya yut, ……”
Dan segera pesan-pesan lain berulang-ulang aku kirim dan kauterima. Kau juga membalas berbait-bait pesan itu hingga di pesan terakir kau kirim pesan yang tak bisa aku menjawabnya. Aku jawab tapi tak seperti yang kau harapkan karena aku lebih memilih melakukan ketidak pastian dam suatu kemungkinan dan keyakinan. Sementara kamu lebih memilih keyakinan dalam kepastian. Mengapa di dalam hal yang paling penting ini kau dan aku justru mengalami perbedaan.
*****************************************************************************
Hari kelima setelah perpisahan kita, terasa begitu membuatku terpuruk. Tak ada satupun karya yang selesai kukerjakan. Aku tak tahu kabar tentangmu lagi. Kau kembali raib. Maka pagi itu juga aku pacu jantungku untuk mneyusulmu ke rumahmu. Barangkali kau sudah berada di rumah. Karena yang bisa kembali mengobati kegalauamu hanyalah ibu. Seorang ibu lebih memahami seorang anaknya ketimbang seorang kekasih sekalipun. Karena ikatan batin ibu dan anak lebih kuat, lebih pasti
Kucari seharian penuh dimana rumahmu dan hingga jam 21.00 aku tak juga menemukannya. Aku tersesat di kota ini. Kota yang begitu asing bagiku karena ini kali pertamanya aku berada di sini. Putus asa sudah diriku yang begitu tak dapat menguasai fikirku, perasaanku. Aku lebih dikendalikan oleh luapan emosi yang terus menyala dikipasi oleh syetan-syetan yang beberapa hari ini dengan rela dan senang hati menemaniku. Di alun-alun ini aku menemukan tempat kembali. Masjid! Ya masjid yang berdiri dengan kokohnya dengan kubah besar bulat. Di sana lah tempat untuk kembali dalam kepastian.
Didalamnya sepi tak satupun kulihat manusia yang mau menyinggahi tempat yang suci ini. Tempat ini justru sepi melenggang. Namun di sisi kiri sebelah pojok depan tampak olehku sesosok dalam balutan mukena biru. Kembali membuatku dalam de javu dua bulan lalu saat kau dan aku masih bersama. Kau kenakan mukena biru saat kau dan aku kembali kepadanya. Menghadap sang khalik dan menjadikan hatiku, hatimu tak pernah gundah lagi. Barang kali kegundahanku selama ini karena aku terasa sepeti menjauhiNYA. Padahal dulu kau dan aku selalu meyakini kalau Dia selalu dekat dengan diri kita.
Malam ini, di kota yang asing bagiku aku menemukan tempat yang begitu sangat aku kenali. Tempat untuk menghilangkan kegundahan dan kembali dalam keyakinan menapaki samudera kehidupan. Dalam sujudku menetes berpuluh butiran bening, tak dapat kutahan. Barangkali hanya kau, dan beberapa sahabat saja yang hafal kapan butiran bening pasti menetes dari kedua bola mataku. Kau tak pernah bilang itu cengeng. Ya, aku cengeng ketika dihadapan Tuhanku. Dalam sujud terakirku kudengrkan de javu lantunan suaramu yang begitu merdu melantunkan ayat-ayatNya.
‘Fa bi Aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…”
‘nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan”
Ayat yang mengembalikanku kepada kenyataan dan keyakinan bahwa semua pasti akan kembali kepadaNya. Namun sebelum tiba waktu itu, setiap manusia memiliki sebuah tugas di dunia ini yang harus diselesaikan. Tugas akan adanya dia. Dan tugas itu akan terejawantah dan terintegralkan dalam turunan-turunan yang semakin banyak. Lantas salah satu tugas itu adalah mensyukuri nikmat Tuhan. Kenapa bersyukur? Karena dengan bersyukur seseorang akan terbawa dalam kesadaran dimana dia sedang berada dan apa yang mesti dilakukannya.
Malam yang sunyi ini mengantarkanku kepada jawaban-jawaban yang selama ini kucari. Kembali, ya kembali adalah yang selama ini kurisaukan. Kembali kepada diriku sendiri dan memahami siapa sebenarnya aku. Kembali lagi kudengar lantunan ayat itu.
Kali ini semakin dekat dan semakin keras dengan beberapa orang yang mengucapkannya.
‘Fa bi aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…’
‘maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan.;
Tuhan aku merasa tak pernah untuk mendustakan nikmat yang telah Kau beri. Aku selalu mencoba untuk bisa bersyukur kepadaMU. Namun malam ini, hari ini tepatnya aku linglung, bimbang dengan yang kurasa.
*****************************************************************************
Di balik tirai kuning itu kau masih menunggu dengan penuh harapan. Kini tirai kuning itu telah tersibak oleh ku. Tangan kanan ku menyentuhnya, tapi……, disana tak kutemukan jua dirimu yang menanti karena kau telah memilih untuk yang pasti. Kau lebih memilih untuk pergi. Karena aku terlambat barangkali. Kau telah memilih untuk menjauh dariku. Tapi aku yakin di fikirmu akan tetap terpatri dengan kokoh diriku di sana. Sebuah kemunginan dan kepastian.
Lantas kau sekarang sedang dimana? Di tirai yang mana? Dapatkah aku menemukanmu? Bahkan aku baru sadar kalau tirai yang kau maksud itu bukanlah sebenarnya tirai. Itu adalah fatamorgana seperti yang ada di gurun pasir. Saat itu istri Baginda Nabi Ibrahim ingin mencari air untuk minum anaknya, Ismail. Ia berlari kesana kemari seakan air itu begitu dekat dengannya. Dia melihat genangan demi genangan yang dapat menghapus rasa dahaganya dan dahaga bayinya. Namun sepanjang ia berlari yang diketemukannya hanyalah pasir-pasir gurun yang terbaur dengan angin saat angin bertiup dengan begitu angkuhnya.
Tapi tiba-tiba air dalam fatamorgana itu sangat dekat. Dibawah kaki sang bayi. Mengucur begitu derasnya hingga mampu untuk menghapus dahaga sebanyak manusia yang menginginkannya. Dan saat itu aku tersadar kalau tirai itu memang dekat denganku. Tak hanya denganku tapi dengan semua makluk. Tirai itu adalah sang surya yang tiap hari memanggang para kuli-kuli yang bekerja. Aku baru menangkap sasmitha darimu kalau yang kamu maksud adalah sinar surya yang membakar. Kau butuh seseorang yang akan melindungimu dari sengatannya. Maka aku kan datang untuk menyibaknya. Menyibak tirai itu dan menjadikanmu merasa nyaman terlindungi darinya.
Aku akan terus mencari sampai tirai yang sedang menyembunyikanmu kutemukan. Aku yakin sekarang kalau kamu masih tetap menungguku entah dimana. Karena sang mentari terus bersinar melingkupi seluruh daratan serta lautan di bumi ini. Selama bumi ini masih merasakan sinar kasihnya berarti kau masih tetap ada untukku. Ya, sekarang aku begitu yakin serta merasa dekat denganmu. Tak hanya denganmu tapi juga dengan Tuhanku.
Kembali lagi ayat itu yang kudengar dan kini aku tersadar aku sedang berada di dalam masjid. Tapi bukan masjid yang tadi. Kini aku berada di sebuah rumah tepatnya. Sayup-sayup kubuka kedua mataku yang kelelahan dan kupandangi wajahmu hadir di depanku. Aku kembali bermimpi lagi.
“Pak zu…. Sudah bangun…?”
Tapi ini benar-benar suaramu. Aku tidak bermimpi. Ya aku sedang bersamamu. Aku baru tersadar kalau sedari tadi aku sedang tidur di kamar yang biasa kau tidur di sana. Siang ini aku mengigau lagi untuk yang entah ke berapa. Kau tetap setia untuk menungguiku dan merawatku. Aku mengigau seakan takut karena aku tak kan menemukanmu lagi. Takut akan ada tirai-tirai penghalang lagi yang akan menghalangi keyakinanku dan keyakinanmu. Mengembalikan ke dalam ruang ketidak pastian.
Aku sadar sekarang aku masih nyata di sini dalam dekapan perawatanmu. Aku sakit. Aku demam. Tapi rasa sakit ini hanya seperti saat kau merasakan minum obat saja. Tak begitu terasa. Justru aku sedang sakit fikir. Sedang kelelahan.
“Iyut…., jam berapa?”
“Jam 2 pak…., kamu belum sholat dhuhur… ayo bangun kita jamaah.”
Dan inilah sasmitha itu. Kembali menghadapMU ya Tuhan. Disaat aku sedang tak punya pegangan Engkau menghadirkan kekuatan lewat dia yang selalu ada untukku. Disaat aku dalam kebimbangan Engkau dekatkan dia padaku untuk mencapai ridhaMU. Aku kembali dalam ketidak pastian ini menghadapMu bersama dengannya. Kita berdua akan kembali kepadaMU.
“Allahu akbar.”


Semarang, 22 maret 2011. 10.23 A.M
(dalam sebuah ketidak pastian di bawah atap yang sedang terombang-ambing)
untuk yang sedang ditunggu tanpa sebuah kejelasan.