Senin, 28 Maret 2011
sebuah kritik sastra feminisme
Oleh Zubaidi Duncan Zu_ Reporter Rem fm UNNES
Feminisme muncul dengan adanya sebuah pemikiran dari para wanita yang ingin menempatkan dirinya sejajar dengan laki-laki di berbagai aspek kehidupan , memiliki hak yang sama. Sejalan dengan hal tersebut di berbagai belahan dunia muncul gerakan-gerakan untuk mencoba menggeser superioritas laki-laki terhadap perempuan. Gerakan ini kini sudah bisa dipandang tampak menunjukkan hasil-hasil dari perjuangannya. Posisi perempuan sudah bisa sejajar dengan laki-laki. Ya, gerakan ini tentunya berhasil dengan dukungan segenap kesatuan masyarakat untuk memecah paradigma lama dan mencoba merekonstruksi paradigma baru yang menjadikan posisi wanita tidak lagi berada dalam bayang-bayang laki-laki.
Feminisme sudah merambah ke berbagai aspek kehidupan dan budaya masyarakat, termasuk di bidang seni dan sastra. Sastra dan kritik feminism sudah muncul beberapa puluh tahun silam dengan salah satu penggagasnya yakni Madam Cixous yang menegaskan para perempuan untuk menulis tentang diri mereka. Lalu di Negara-negara lain pun mengikuti perkembagan sastra di bidang feminism itu sendiri, bahkan sebelumnya juga gerakan-gerakan seperti ini sudah ada.
Tentunya gambaran gerakan ini dalam bidang sastra sendiri tampak jelas sangat berbeda apabila penulis sastra adalah seorang perempuan. Dengan kodratnya sebagai wanita, mereka mampu merepresentasikan diri mereka sendiri tanpa harus mengenal batas-batas patriarchal yang selalu membelenggu mereka, sebaliknya akan tampak berbeda jika yang menulis adalah seorang pengarang laki-laki. Pengarang laki-laki pasti akan menyorot dengat sudut pandangnya sebagai laki-laki karena pada hakikatnya ia adalah laki-laki, sekalipun ia adalah seorang yang mendukung gerakan feminisme.
Gerkan feminism di Indonesia sudah dimulai sejak masih dalam ranah kolonialisme dimana lahir seorang bangsawan jawa bernama Kartini. Lalu ada Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia yang terjun langsung dalam memimpin pertempuran gerilya melawan kolonilis. Sementara dalam bidang sastra, feminisme juga sudah mulai terasa pada saat kolonialisasi diambil alih bangsa dari negeri sakura. Sebut saja Maria Amin, seorang penyair yang hidup di zaman itu ia telah berhasil membuat puisi prosais yang belum ada sebelumnya di Indonesia. Akan tetapi ia tak begitu banyak dibahas dalam kritik. Kritik lebih suka menyebut Chairil yang membawa perubahan besar perpuisian Indonesia. Padahal sebelumnya Maria Amin sudah mendahuli Chairil dalam pembuatan puisi yang bebas.
Lalu berkembang lagi di era Balai Pustaka dengan lahirnya belenggu dan layar terkembang. Namun dua novel ini lahir dari tangan laki-laki sehingga sudut pandangnya pun tak lain juga dari laki-laki. Sementara sekarang sudah mulai banyak terekspos karya-karya dari tangan perempuan yang dapat membuat lega kalangan feminis. Sebutlah NH Dini, Titie Said, Titis Basino, Poppy Hutagalung, dan Isma Sawitri. Kemudian di awal abad 21 ini hadir juga meramaikan khazanah gerakan feminism dalam sastra kita bahkan membuat geger beberapa fihak. Beberapa pengarang wanita seperti Ayu Utami, Dewi Lestari berbicara dengan lugas dan penggambaran yang real dan bebas mengenai wanita dalam hal yang paling intim dan seksualitas lewat karya-karyanya.
Setiap perkembangan sastra pasti tak akan luput dengan berkembangnya kritik terhadap sastra. Karena kritik-kritik ini lahir untuk memompa kreatifitas kesusastraan supaya lebih berkembang dan semakin bertambah baik. Krtik-kritik ini juga akan melahirkan teori-teri sastra dan akan ikut serta menjaga sejarah sastra. Sastra angkatan 2000 ini pada akirnya mendapat tantangan keras dari berbagai fihak, sesama sastrawan,budayawan serta para kritikus sastra itu sendiri. Hal ini dikarenakan penulis-penulis tersebut melakukan suatu terobosan yang mungkin terlalu jauh ke depan dimana belum saatnya serta kemungkinan tidak pas kalau diaplikasikan di ranah nasional kita sebagai bangsa timur.
Lahirnya novel-novel seperti karya Ayu Utaami ini juga tidak luput karena pengaruh era yang semakin tanpa batas, era global. Era dimana informasi dari belahan dunia yang sangat jauh seperti hanya terjadi di samping rumah kita. Pertukaran informasi dan budaya semakin begitu cepat. Maka jikalau di Negara barat misalnya gerakan feminisme sudah mencapai titik tinggi maka di Negara lain pun juga bisa seperti itu. Dan seakan gerakan yang dulunya hanya sebagai gerakan kecil terpecah-pecah di masing-masing Negara, kini sudah mengglobal sebagai satu gerakan seluruh wanita di dunia.
Kembali kepada sastra feminisme Indonesia angkatan 2000 ini agaknya memang perlu untuk dibicarakan lagi sebagai sarana dialogis dalam budaya sehingga bukan pertentangan yang diharapkan melainkan hasil dari yang disepakati berbagai kepentingan. Khazanah budaya Indonesia yang didalamnya terdapat budaya-budaya lokal agaknya akan lebih menarik bila digambarkan dalam karya-karya sastra. Sehingga tidak gambaran wanita secara umum tapi ada kekususan dan keunikan yang justru akan bisa mengangkat budaya nasional kita, tidak melebur dan tereduksi dalam budaya dunia yang tak jelas arahnya.
Sebuah kelegaan karena novel yang beraliran feminism hadir di awal tahun 2010 yang cukup menarik karena lebih mengutamakan budaya bangsa kita. De Lief De, sebuah seri kedua dari tetralogi De Winst. Tergambar beberapa tokoh wanita dalam novel itu untuk berjuang dalam aktualisasi diri. Sebut saja Sekar Prembayun seorang anak dari golongan Keraton Mataram yang terpecah menjadi empat akibat dari pengaruh kolonialisme. Beruntung dia seorang anak priyayi karena tentunya lebih berkesempatan untuk mengenyam pendidikan yang cukup tinggi. Lalu berbekal intelektual yang dimilikinya ia mulai ikut andil dalam perjuangan negeri yang sedang terjajah itu. Ini akibat pengaruh dari gerakan-gerakan pejuang Indonesia di jaman itu yang sudah mulai menggunakan media sebagai alat perjuangan. Dan Sekar hadir pula ikut menyuarakan hatinya lewat tulisan-tulisannya yang kemudian membuat ia diasingkan ke Tanah Belanda.
Selain Sekar ada lagi beberapa tokoh wanita yang menjadi point utama penggambaran perjuangan wanita dalam ranah kesetaraan gender yang diwakili oleh advokat perempuan berkebangsaan belanda bernama Kareen. Seorang Belanda yang memilih berkarir sebagai advocate dan lebih mendukung kaum terjajah. Sebuah keberanian yang besar apabila kita memperhatikan karena ia hidup di daerah jajahan. Lalu ada pula perempuan bernama Sophie yang lebih memilih kehidupan sebaga jurnalis bergaji sedikit dari pada berada dalam bayang-bayang kekayaan ayahnya yang seorang anggota parlemen.
Disinilah terdapat adanya sebuah perbedaan pada novel angkatan 2000 sebelumnya dengan novel karya Afifah Afra. Barangkali Afifah Afra lebih dikenal sebagai penulis karya fiksi berbasis agama. Namun dalam novel ini ia menyuguhkan hal lain dimana lebih menonjolkan sisi-sisi perjuangan perempuan dalam beraktualisasi diri sebagaimana sekarang ini arah itulah yang dituju oleh kaum perempuan itu sendiri sekalipun tema tentang agama terselip di dalamnya.
Nah, ini merupakan suatu yang unik. Walaupun sama-sama bergerak untuk menetang budaya patriarkhi, namun keduanya mempunyai cara yang berbeda. Hal ini juga karena background kedua penulis juga berbeda. Barang kali ayu utami lebih terpengaruh oleh globalisasi dimana batas budaya antara Negara satu dengan Negara yang lain hampir tak kentara karena budaya sekarang adalah budaya satu, Budaya Global. Pengaruh dunia global membuat semua budaya melebur jadi satu. Namun karena di era global ada Negara yang lebih unggul dibanding Negara lain maka Negara berkembang agaknya banyak yang mengekor Negara maju tanpa bangga akan budaya yang dimiliki.
Sebuah karya sastra adalah merupakan media yang paling baik untuk meyampaikan suatu ideologi karena melalui suatu karya pembaca akan dibawa ke dunia tertentu yang dapat menjadikan emosinya seperti berada dan menjadi bagian dari dunia tersebut. Pembaca akan mudah menangkap dan terpengaruh oleh ideology itu karena seolah-olah ia sangat dekat dengan ideology itu. Hal ini berbeda apabila ideology disampaikan melalui media lain. Tentu akan lebih sulit untuk mempengaruhi pembaca karena kurang adanya ikatan emosi. Sehingga apabila sastra digunakan untuk membawa gerakan feminism niscaya akan sangat mempercepat ideology itu sampai pada masyarakat.
Walaupun karya sastra dipandang baik apabila ia tidak punya maksud tertentu terkait ideology ataupun tidak secara nyata eksplisit menympaikan suatu pesan, nmamun perlu kita sadari bahwa dia adalah produk drai seorang sastrawan yang hidup dan menjadi bagian dari masyarakat. Secara tidak langsung ia akan menuli sesuatu yang berkenaan dengnmasyarakat dimana ia hidup dan ideology yang ia anut. Maka dari itu tak emnherankan jika banyak karya sastra yang lahir dengan mmbawa ideology-ideologi tertentu.
Hadirnya sastra feminis telah membawa dampak yang cukup signifikan karena pada akirnya wanita-wanita Indonesia sekarang sudah banyak kita lihat kiprahnya di ranah publik. Sebagai pemimpin juga tidak jarang kita temui sosok-sosok wanita. Namun agak ironis kalau suatu saat karena pengaruh sastra yang dinilai begitu vulgar akan mempengaruhi wanita menjadi berlebihan dan melampaui batas. Apa yang akan terjadi kalau mereka juga akan menerapkan di kehidupan nya kevulgaran-kevulagaran itu? kita harap ini tak akan pernah terjadi, semoga!
Dalam hal ini perlu adanya penyeimbang dalam khazanah sastra kita yang bergerak di bidang gender. Kalau sebagian karya menyoroti wanita dengan kevulagaran-kevulgarannya, maka di sisi lain harus ada yang menyoroti bagian lain yakni anti kevulagaran itu sendiri. Sekalipun hal ini akan mengundang banyak kontriversi. Kalau harus kembali pada anti kevulagaran, apakah itu bukan berarti kembali kepada patriarchal? Suatu tanda tanya besar yang harus dijawab oleh semua bangsa Indonesia.
Budaya patriarchal yang seperti apa yang ingin dirubah? Mungkin pertanyaan ini akan dapat membawa kita kepada jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Karena sebenarnya budaya patriarchal terhadap perempuan di negeri kita sepertinya juga sudah mulai berkurang. Mungkin kita masih bertanya-tanya tentang jodoh ataupun sekolah yang mana di desa perempuan masih ada yang dibawah bayanganbudaya belum sepenuhnya merdeka. Misalnya, di usia yang melampaui 25 jika seorang perempuan belum menikah maka akan menjadi suatu tanda Tanya besar bagi masyarakat. Seolah-olah tidak laku yang menjadi paradigm yang masih mengakar dan dianut. Namun kalau kita perhatikan lebih lanjut sekarang budaya ini sudah mulai mengaktualisasikan diri dan bisa megikuti budaya modern dengan tetap menjunjung tinggi budaya sendiri dimana jika belum menikah diusia itu sekarang ada istilah yang cukup baik yakni karena lebih memilih menjadi wanita karir.
Mengenai budaya, khususnya budaya kita yang harus kita jadikan acuan adalah bagaimana kita mampu mereinterpretasi dan melakukan dialog dengan zaman. Budaya kita bukanlah budaya yang tertinggal seperti sebagian orang persepsikan. Budaya kita justru merupakan budaya yang besar dimana ini menjadi cirri khas dari diri kita sendiri. Karena budaya itu tidak berkembang kearah yang pasti sepeerti sebua perlombaan yang ada start dan ada ending-nya. Budaya itu terbentuk dari masyarakat. Jadi disinilah perlunya pembicaraan mengenai budaya dan penfsiran kembali bagaimana seharusnya budaya yang kita miliki itu dan ke arah mana akan kita bawa tanpa adanya pertentangan-pertentangan.
Nah, jikalau budaya feminism Indonesia dapat mempunyai ciri khas tersendiri, lalu mengapa kita harus mereduksikan diri? Nah, inilah yang mungkin menjadi alternatif untuk menyuarakan gerakan gender dalam khazanah sastra kita. Kita bisa memasukkan budaya sendiri seperti yang digambarkan oleh Afifah Afra dalam novelnya itu. Di novel tersebut tergambar para perempuan Indonesia dan Belanda yang memperjuangkan idealisme mereka dengan cara-cara yang mereka bisa lakukan. Dengan cara seperti ini maka sastra kita akan mampu menjadi acuan gerakan perempuan yang benar-benar berbasis nasionalisme kita. Dalam hal ini diperlukan adanya pendefinisian ulang mengenai bagaimana wanita Indonesia di zaman sekarang dan masa depan?
Wanita Indonesia tetaplah akan menjadi wanita Indonesia sekalipun terpegaruh oleh budaya-budaya lain. Yang menjadi alternative adalah bagaimana bisa beradaptasi dengan budaya yang mempengaruhi dengan tanpa meleburkan diri sampai batas tak terkenali lagi. Sehingga novel-novel yang memperjuangkan wanita TKW, wanita Jawa yang mengenyam pendidikan sampai tingkat Doktor di luar negeri, dsb akan membuka wacana yang baik untuk membuat pemikiran semakin berkembang e arah yang pasti serta tujuan yang jelas, yakni menjadi pribadi yang unggul sejajar dengan wanita-wanita bangsa-bangsa yang dianggap lebih unggul-bangsa Barat.
Saya kitra itulah yang mungkin akn membuat gerakan gender pada sastra kita tampak jelas sebagai suatu karakter bangsa yang mempunyai ciri yang khas. Dan semoga akan ada karya-karya yang seperti Afifah Afra angkat dalam novelnya.
Di akhir tulisan ini saya berharap akan hadir karya-karya sastra kita yang mengangkat tema-tema suara perempuan yang benar-benar mengangkat budaya perempuan Indonesia masa kini dengan tanpa mereduksi ke budaya lain sekalipun budaya lain tampak lebih unggul di mata sebagian orang. Karena dengan begitu sastra kita akan dapat menjadi simbol dari bangsa kita sendiri, bukan? Semoga tuisan ini dapat menjadi bahan perenungan ulang untuk kebudayaan kita di masa mendatang-dalam karya-karya fiksi tahun-tahun ke depan. Harapan saya akan adanya feedback terhadap tulisan saya ini akan dapat membantu saya untuk lebih memahami budaya sendiri khususnya tentang perempuan dari sudut pandang orang lain. Trima kasih…..
cerpen berkaitan dengan psikologi dan kehidupan
Aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan di malam yang terlanjur hujan sudah mereda ini. Kukirimkan sebait kalimat untukmu. Kaupun membalasnya dengan segera dan kau bilang sedang mendengarkan lagu-lagu yang kau sukai yang sebenarmya adalah lagu yang sama kusuka. Kau bilang kau sedang menulis sesuatu sedangkan aku tak tahu apa yang sedang kau tulis karena saat aku sudah membalas sms yang ketiga dan sudah kukirim kepadamu, justru kau tak membalasnya lagi. Kau raib. Menghilang di saat sebenarnya aku ingin kau hadir malam ini untuk menemani kesendirianku. Sedang apakah dirimu? Aku yakin kamu belum terlelap oleh dewa mimpi yang membawamu kedalam mimpi di sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga bewarna warni serta dihinggapi berbagai macam kupu-kupu yang setiap orang ingin menangkapnya.
Kau sedang duduk sendirian di taman itu sedang menunggu seseorang tanpa kepastian namun hanya keyakinan akan ada yang datang. Dan saat kau berbalik dari arahmu yang semula, tiba-tiba datang seorang pangeran yang menaiki seekor kuda putih dengan segenggam mawar merah muda dalam balutan plastik kertas bewarna biru, warna yang paling kau suka. Pangeran tadi datang kepadamu dan mengajakmu naik di atas pelana kudanya yang bewarna putih bersih nan suci. Dan saat pangeran tadi membawamu menyusuri sungai yang alirannya tak begitu deras karena musim hujan sudah tak lagi hadir menemani, tiba-tiba kau terbangun dan kau temukan dirimu sedang duduk termenung dalam lamunan dengan perhatianmu kembali kepada hp yang sedari tadi masih kau genggam dalam tangan kirimu, bukan mawar merah pemberian kekasih yang kau tunggu, tak kunjung tanpa kepastian.
Aku tulis beberapa bait lagi dalam layar ini tapi kuurungkan untuk mengirimnya kepadamu karena aku tahu kau sedang tak ingin membacanya sekalipun sebenarnya kamu ingin dan sedang menantikannya. Barangkali moment yang belum pas. Karena kau sedang menunggu dan orang yang sedang kau tunggu ternyata juga sedang menunggumu dalam kepastiaannya. Namun kepastiaannya tak sama dengan kepastian yang kau harapkan sehingga kau menginginkan sebuah kejelasan darinya. Namun dia tak kunjung menerima sinyal-sinyal yang telah kau sampaikan lewat aliran udara bebas, lewat air embun di pagi buta serta lewat tanah yang selalu kau injak saat kau masih kecil.
Tapi memang begitulah aku adanya. Aku tetap akan menunggumu sekalipun aku tak bisa memberi sebuah kepastian karena di dunia ini tak ada yang pasti sebelum benar-benar terjadi. Semuanya tampak abstrak dan hanya hidup dalam kira-kira. Hidup dalam ketidakmenentuan. Hanya kemungkinan yang masih bisa dipegang dan dipertahankan. Dan aku lebih memilih kemungkinan yang bagimu seperti air yang digodog dalam periuk tanpa api yang menyala. Hanya tungku yang diam saja. Seperti itulah aku percaya bahwa air yang digodog tadi pasti akan masak tapi masih menunggu lama karena api belum juga menyala disana. Barangkali api itu adalah kamu sementara tungku itulah aku yang sedang menunggumu, sementara air yang akan dimasak itulah cinta yang sedang aku dan kau akan semai bersama suatu saat. Tinggal menunggu waktu kapan Tuhan akan menjawab doaku serta doamu.
Pagi ini langit tak secerah biasanya. Padahal ini sudah terhitung bulan musim dimana mentari akan bersinar terik membakar apa yang ada di bumi. Tapi tampaknya mentari begitu hafal kapan dia harus muncul dan kapan dia harus bersembunyi dibalik tirai hitam, bukan tirai kuning yang selalu kau gunakan untuk bersembunyi dalam penantian di malam-malam sepi menunggu seseorang untuk membukanya, salah satunya adalah aku yang kau harapkan untuk membukanya lalu membawamu ke alam ketidak sadaran, linglung dan lupa akan segalanya.
Pagi ini, karena langit sedang bersedih maka mentari lebih pragmatig dan tahu diri membiarkan langit untuk menikmati kesedihannya dan tak mau mengganggunya. Sesekali angin lumayan kencang membantu sesenggukan langit biar ia benar-benar tampak sedang bersedih, lalu rintik air matanya turun dengan perlahan tapi penuh kepastian. Ya,kepastian ketika ia sedih maka ia akan mengeluarkan air matanya lewat mega-mega hitam yang menggelantung di mukanya. Ini beda dengan dirimu di pagi ini. Kau tetap seperti biasa sudah tak serapuh dulu kala. Kau sudah menemukan resep untuk mengarungi perjalanan kehidupan yang tak menentu dengan penuh keyakinan. Padahal dulu kau sangat rapuh dan selalu jatuh.
Ya, benar! kekuatan itu pastilah akan datang serta membuatmu lebih bisa tegar dalam dunia ini. Namun sepertinya resep itu tak mau bekerja di pagi ini. Kau coba untuk menenangkan diri dengan lamunan sambil mendengarkan lagu-lagu yang aku dan kau suka. Lagu-lagu yang menjadi kenangan bagi kita dan seakan de javu akan berulang untuk kesekian kalinya walaupun hanya dalam lamunan. Kau tetap terdiam, katamu sambil mengirim lagi pesan yang segera membangunkanku dari lamunanku tentang kenangan itu.
“pak zu….”
Sebuah pesan singkat yang menunjukkan kegalauanmu.
“Iya yut, ……”
Dan segera pesan-pesan lain berulang-ulang aku kirim dan kauterima. Kau juga membalas berbait-bait pesan itu hingga di pesan terakir kau kirim pesan yang tak bisa aku menjawabnya. Aku jawab tapi tak seperti yang kau harapkan karena aku lebih memilih melakukan ketidak pastian dam suatu kemungkinan dan keyakinan. Sementara kamu lebih memilih keyakinan dalam kepastian. Mengapa di dalam hal yang paling penting ini kau dan aku justru mengalami perbedaan.
*****************************************************************************
Hari kelima setelah perpisahan kita, terasa begitu membuatku terpuruk. Tak ada satupun karya yang selesai kukerjakan. Aku tak tahu kabar tentangmu lagi. Kau kembali raib. Maka pagi itu juga aku pacu jantungku untuk mneyusulmu ke rumahmu. Barangkali kau sudah berada di rumah. Karena yang bisa kembali mengobati kegalauamu hanyalah ibu. Seorang ibu lebih memahami seorang anaknya ketimbang seorang kekasih sekalipun. Karena ikatan batin ibu dan anak lebih kuat, lebih pasti
Kucari seharian penuh dimana rumahmu dan hingga jam 21.00 aku tak juga menemukannya. Aku tersesat di kota ini. Kota yang begitu asing bagiku karena ini kali pertamanya aku berada di sini. Putus asa sudah diriku yang begitu tak dapat menguasai fikirku, perasaanku. Aku lebih dikendalikan oleh luapan emosi yang terus menyala dikipasi oleh syetan-syetan yang beberapa hari ini dengan rela dan senang hati menemaniku. Di alun-alun ini aku menemukan tempat kembali. Masjid! Ya masjid yang berdiri dengan kokohnya dengan kubah besar bulat. Di sana lah tempat untuk kembali dalam kepastian.
Didalamnya sepi tak satupun kulihat manusia yang mau menyinggahi tempat yang suci ini. Tempat ini justru sepi melenggang. Namun di sisi kiri sebelah pojok depan tampak olehku sesosok dalam balutan mukena biru. Kembali membuatku dalam de javu dua bulan lalu saat kau dan aku masih bersama. Kau kenakan mukena biru saat kau dan aku kembali kepadanya. Menghadap sang khalik dan menjadikan hatiku, hatimu tak pernah gundah lagi. Barang kali kegundahanku selama ini karena aku terasa sepeti menjauhiNYA. Padahal dulu kau dan aku selalu meyakini kalau Dia selalu dekat dengan diri kita.
Malam ini, di kota yang asing bagiku aku menemukan tempat yang begitu sangat aku kenali. Tempat untuk menghilangkan kegundahan dan kembali dalam keyakinan menapaki samudera kehidupan. Dalam sujudku menetes berpuluh butiran bening, tak dapat kutahan. Barangkali hanya kau, dan beberapa sahabat saja yang hafal kapan butiran bening pasti menetes dari kedua bola mataku. Kau tak pernah bilang itu cengeng. Ya, aku cengeng ketika dihadapan Tuhanku. Dalam sujud terakirku kudengrkan de javu lantunan suaramu yang begitu merdu melantunkan ayat-ayatNya.
‘Fa bi Aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…”
‘nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan”
Ayat yang mengembalikanku kepada kenyataan dan keyakinan bahwa semua pasti akan kembali kepadaNya. Namun sebelum tiba waktu itu, setiap manusia memiliki sebuah tugas di dunia ini yang harus diselesaikan. Tugas akan adanya dia. Dan tugas itu akan terejawantah dan terintegralkan dalam turunan-turunan yang semakin banyak. Lantas salah satu tugas itu adalah mensyukuri nikmat Tuhan. Kenapa bersyukur? Karena dengan bersyukur seseorang akan terbawa dalam kesadaran dimana dia sedang berada dan apa yang mesti dilakukannya.
Malam yang sunyi ini mengantarkanku kepada jawaban-jawaban yang selama ini kucari. Kembali, ya kembali adalah yang selama ini kurisaukan. Kembali kepada diriku sendiri dan memahami siapa sebenarnya aku. Kembali lagi kudengar lantunan ayat itu.
Kali ini semakin dekat dan semakin keras dengan beberapa orang yang mengucapkannya.
‘Fa bi aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…’
‘maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan.;
Tuhan aku merasa tak pernah untuk mendustakan nikmat yang telah Kau beri. Aku selalu mencoba untuk bisa bersyukur kepadaMU. Namun malam ini, hari ini tepatnya aku linglung, bimbang dengan yang kurasa.
*****************************************************************************
Di balik tirai kuning itu kau masih menunggu dengan penuh harapan. Kini tirai kuning itu telah tersibak oleh ku. Tangan kanan ku menyentuhnya, tapi……, disana tak kutemukan jua dirimu yang menanti karena kau telah memilih untuk yang pasti. Kau lebih memilih untuk pergi. Karena aku terlambat barangkali. Kau telah memilih untuk menjauh dariku. Tapi aku yakin di fikirmu akan tetap terpatri dengan kokoh diriku di sana. Sebuah kemunginan dan kepastian.
Lantas kau sekarang sedang dimana? Di tirai yang mana? Dapatkah aku menemukanmu? Bahkan aku baru sadar kalau tirai yang kau maksud itu bukanlah sebenarnya tirai. Itu adalah fatamorgana seperti yang ada di gurun pasir. Saat itu istri Baginda Nabi Ibrahim ingin mencari air untuk minum anaknya, Ismail. Ia berlari kesana kemari seakan air itu begitu dekat dengannya. Dia melihat genangan demi genangan yang dapat menghapus rasa dahaganya dan dahaga bayinya. Namun sepanjang ia berlari yang diketemukannya hanyalah pasir-pasir gurun yang terbaur dengan angin saat angin bertiup dengan begitu angkuhnya.
Tapi tiba-tiba air dalam fatamorgana itu sangat dekat. Dibawah kaki sang bayi. Mengucur begitu derasnya hingga mampu untuk menghapus dahaga sebanyak manusia yang menginginkannya. Dan saat itu aku tersadar kalau tirai itu memang dekat denganku. Tak hanya denganku tapi dengan semua makluk. Tirai itu adalah sang surya yang tiap hari memanggang para kuli-kuli yang bekerja. Aku baru menangkap sasmitha darimu kalau yang kamu maksud adalah sinar surya yang membakar. Kau butuh seseorang yang akan melindungimu dari sengatannya. Maka aku kan datang untuk menyibaknya. Menyibak tirai itu dan menjadikanmu merasa nyaman terlindungi darinya.
Aku akan terus mencari sampai tirai yang sedang menyembunyikanmu kutemukan. Aku yakin sekarang kalau kamu masih tetap menungguku entah dimana. Karena sang mentari terus bersinar melingkupi seluruh daratan serta lautan di bumi ini. Selama bumi ini masih merasakan sinar kasihnya berarti kau masih tetap ada untukku. Ya, sekarang aku begitu yakin serta merasa dekat denganmu. Tak hanya denganmu tapi juga dengan Tuhanku.
Kembali lagi ayat itu yang kudengar dan kini aku tersadar aku sedang berada di dalam masjid. Tapi bukan masjid yang tadi. Kini aku berada di sebuah rumah tepatnya. Sayup-sayup kubuka kedua mataku yang kelelahan dan kupandangi wajahmu hadir di depanku. Aku kembali bermimpi lagi.
“Pak zu…. Sudah bangun…?”
Tapi ini benar-benar suaramu. Aku tidak bermimpi. Ya aku sedang bersamamu. Aku baru tersadar kalau sedari tadi aku sedang tidur di kamar yang biasa kau tidur di sana. Siang ini aku mengigau lagi untuk yang entah ke berapa. Kau tetap setia untuk menungguiku dan merawatku. Aku mengigau seakan takut karena aku tak kan menemukanmu lagi. Takut akan ada tirai-tirai penghalang lagi yang akan menghalangi keyakinanku dan keyakinanmu. Mengembalikan ke dalam ruang ketidak pastian.
Aku sadar sekarang aku masih nyata di sini dalam dekapan perawatanmu. Aku sakit. Aku demam. Tapi rasa sakit ini hanya seperti saat kau merasakan minum obat saja. Tak begitu terasa. Justru aku sedang sakit fikir. Sedang kelelahan.
“Iyut…., jam berapa?”
“Jam 2 pak…., kamu belum sholat dhuhur… ayo bangun kita jamaah.”
Dan inilah sasmitha itu. Kembali menghadapMU ya Tuhan. Disaat aku sedang tak punya pegangan Engkau menghadirkan kekuatan lewat dia yang selalu ada untukku. Disaat aku dalam kebimbangan Engkau dekatkan dia padaku untuk mencapai ridhaMU. Aku kembali dalam ketidak pastian ini menghadapMu bersama dengannya. Kita berdua akan kembali kepadaMU.
“Allahu akbar.”
Semarang, 22 maret 2011. 10.23 A.M
(dalam sebuah ketidak pastian di bawah atap yang sedang terombang-ambing)
untuk yang sedang ditunggu tanpa sebuah kejelasan.
Sabtu, 19 Maret 2011
Rabu, 31 Maret 2010
materi sarasehan sastra menulis fiksi
WORKSHOP MENULIS FIKSI
“SARASEHAN SASTRA”
WORLD IN THE WORD
KAMIS, 10 DESEMBER 2009
GEDUNG B3 BAHASA INGGRIS UNNES
OLEH:
Mujiana A Kadir
(PENULIS NOVEL DUA PEREMPUAN)
PRESENTED BY THE CREATIVE TEAM OF SARASEHAN SASTRA
LITERATURE PROGRAM
ENGLISH DEPARTMENT OF
Novel Ayat-ayat Cinta (2004), karya Habibburrahman El Shirazy, menjadi best seller nasional dan terjual 360 ribu eksemplar lebih. Bila harga satu eksemplar Rp 30.000, dapat dihitung berapa omset penjualan buku tersebut. Berapa keuntungan yang menjadi penghasilan penerbit, distributor, pengecer dan penulisnya? Bukan itu saja, berapa orang yang mendapatkan bagian rezeki dan menikmati kesejarteraan dengan adanya novel tersebut. Bahkan novel yang laris manis itu kemudian menjadi film layar lebar yang juga laris, ditonton oleh semua kalangan, dari anak-anak sampai orang tua, bahkan wakil presiden RI.
Novel Laskar Pelangi (2005), karya Andrea Hirata juga menjadi best seller nasional dengan omset penjualan lebih dari 500 ribu eksemplar. Sebenarnya, Andrea Hirata adalah seorang doktor ekonomi alumni Sorborne Perancis, tetapi dia justru merasa sangat sukses dengan menulis novel. Terbukti, tiga novel berikutnya, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov menyusul Laskar Pelangi. Mengenai penghasilan yang diperoleh, tentu dapat Anda hitung ketika harga setiap eksemplar buku Rp 60.000.
Kira-kira tiga tahun sebelum 2007, novel-novel remaja yang dikenal dengan istilah novel tenlit dan chiklit banyak digemari remaja. Dalam khasanah perbukuan, khususnya fiksi –tanpa penggolangan fiksi sastra dan populer—merupakan catatan sejarah yang fenomenal di tanah air. Meskipun di Amerika Serikat pernah terjadi deman tenlit dan chiklit satu dekade sebelum terjadi di Indonesia.
Yang perlu diperhatikan, penulis-penulis semacam Habibburrahman dan sederet lagi nama-nama dalam daftar nama penulis terkenal di negeri ini adalah mereka bukan wajah-wajah yang telah bergelut dan berpengalaman dalam bidang penulisan. Dan mereka bukanlah yang telah terkenal dengan karya-karyanya, misalnya N.H. Dini, Ayu Utami, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Budi Darma, dan sebagainya.
Hal ini membuka keyakinan penerbit untuk mengakui, munculnya muka-muka baru dengan kapasitas yang tak jauh berbeda dengan penulis tersohor dapat menyemarakkan penerbitan buku di tanah air. Nama-nama baru justru jauh lebih mencengangkan dan menguntungkan. Bahkan dalam diskusi peringatan Chairil Anwar 2008 terungkap, karya-karya sastra pada abad 21 tetap lahir semarak seiring lahirnya kreator-kreator sastra baru. Bahkan Helvy Tiana Rosa memelopori lahirnya genre sastra Islami, yang dinilai oleh kritikus sebagai genre baru. Sayangnya kelahiran karya sastra pada abad ini tidak (belum) diikuti oleh kritikus yang memiliki kapabilitas dan produktivitas misalnya seperti H.B. Jassin, pada abad silam.
Ternyata banyak orang-orang yang memiliki bakat menulis tetapi belum bersedia muncul. Melihat fakta seperti ini, dugaan bahwa masih banyak orang-orang berbakat yang belum muncul ke permukaan dan mereka seperti fenomena gunung es di tengah lautan yang luas, dapat mendekati kebenaran. Tetapi ketidakbersediaan mereka untuk muncul menimbulkan dugaan baru, bahwa mereka enggan eksis di dunia sastra kerena bidang sastra memang belum bisa menjanjikan sesuatu yang lebih baik. Benarkah?
Trend dan Gengsi
Pada tahun 1960-an, banyak pemuda Amerika yang mengambil kelas jurnalistik untuk bisa bekerja dalam bidang pers. Mereka mati-matian berlatih menulis feature yang diidentifikasikan sebagai tulisan yang like a novel; menyerupai (mirip) dengan novel. Setelah mereka memiliki kemampuan menulis feature ternyata mereka melakukan loncatan aneh dengan memilih ke luar dari dunia jurnalistik dan menyingkir dari keramaian untuk menulis novel. Mereka ingin mewujudkan sebuah tulisan yang benar-benar “novel” dan bukan tulisan yang sekadar like a novel. Jadi jurnalistik hanyalah batu loncatan bagi pemuda Amerika untuk dapat menjadi seorang penulis novel (Orang-orang Amerika selalu menganggap profesi penulis sebagai pekerjaan yang terhormat dan bergengsi).
Tindakan yang dilakukan oleh para pemuda Amerika ini memang telah terjadi sekitar 45 tahun yang lalu, tetapi trend menjadi penulis tetap saja menjadi impian bagi setiap orang di sana. David Copperfield, ahli ilusionis, yang untuk ukuran popularitas, siapa yang akan meragukannya, beberapa tahun yang lalu, menghimpun beberapa penulis kenamaan Amerika untuk membuat buku antologi cerpen dan dia mengikutkan satu cerpen karyanya. Barangkali dengan harapan karyanya bisa berjajar bersama karya besar penulis-penulis itu. Ini secara tidak langsung menunjukkan betapa luar biasanya daya pikat profesi penulis sehingga orang seperti David Copperfield pun berkeinginan untuk menggapai posisi itu. Dan menurut pemikiran saya, kegiatan menulis buku di Amerika sudah bukan lagi profesi yang diciptakan karena desakan kebutuhan hidup, melainkan profesi yang berkaitan dengan citra dan peningkatan martabat mereka.
Di Indonesia, tindakan untuk menggunakan dunia jurnalistik sebagai batu loncatan ke dunia fiksi itu baru menjadi sorotan akhir-akhir ini ketika sosok-sosok seperti Ayu Utami, Goenawan Muhammad, Seno Gumira Aji Darma, Prie GS., Triyanto Triwikromo, Bre Redana, Budi Maryono, dan banyak lagi yang lain muncul ke permukaan. Mereka menunjukkan eksistensi sebagai seorang penulis melalui media massa. Dengan munculnya fenomena ini, dapat diduga bahwa untuk beberapa dekade mendatang pekerjaan sebagai seorang penulis di Indonesia akan mengalir cepat mengikuti trend setter di Amerika.
Sampai tahun 2008 penerbit di Indonesia yang masuk menjadi anggota IKAPI, organisasi pengusaha penerbitan mencapai 900 penerbit. Dan hanya 250 penerbit yang menerbitkan buku-buku pelajaran. Adapun potensi pasar atau pembaca pada segmen buku pelajaran lebih dari 100 juta yang berstatus pelajar SD sampai dengan SMA dan yang setingkat. Berati masih 650 penerbit yang menerbitkan buku-buku selain buku pelajaran. Dengan potensi pasar, mahasiswa, profesional, dan umum yang diperkirakan lebih dari 35 juta, sangat prospektif bagi siapa pun untuk memasukinya. Apalagi industri kreatif --diantaranya bidang penerbitan, percetakan, dan kepenulisan—sedang menjadi fokus pengembangan oleh pemerintah di era masyarakat neoindustri.
Peluang Karya Sastra
Saat ini kehidupan penulis Indonesia rata-rata masih dalam batas bawah standar penghasilan, dan oleh kerena itu mereka menggunakan pekerjaan itu sebagai pekerjaan kedua dalam hidupnya. Tidak salah, N.H. Dini yang termasuk novelis papan atas di Indonesia, hidupnya terlantar pada usia senja. Tapi zaman telah berubah.
Jika kita bersedia melihat ke masa depan dan sedikit berhitung, maka kehidupan ekonomi seorang penulis akan menakjubkan di waktu mendatang. Meskipun dapat dikatakan masih sedikit orang-orang yang menjadi penulis dan mendapatkan tingkat kehidupan sangat layak secara ekonomi.
Adanya gerakan untuk membudayakan membaca yang akhir-akhir ini gencar diwartakan, secara telak telah mengubah paradigma lama yang mengutamakan tindak tutur sebagai transfer informasi, menjadi buku sebagai media transfer of knowledge. Gerakan ini secara signifikan akan menjadi revolusi besar dalam pola pemikiran masyarakat dan turut menstimulasi generasi muda untuk menjadi pembaca buku yang aktif.
Apabila kita melihat jumlah penduduk Indonesia saat ini yang berkisar 235 juta jiwa, seandainya sekitar sepuluh persen saja (2.350.000 jiwa) mereka adalah konsumen buku, maka akan sangat mudah untuk meraih predikat penjualan best seller untuk sebuah buku yang hanya beromset di bawah 10 ribuan eksemplar.
Pendapatan lain yang bisa diraih bukan hanya dari penjualan buku. Penulis bisa mendapatkan hasil lain dari terciptanya karya-karya baru yang terinspirasi oleh tulisannya. Atau event-event semacam seminar dan diskusi yang menghadirkan penulis.
Pernahkah Anda melihat Lord Of The Ring, film peraih berbagai macam penghargaan, adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama. Atau sinetron-sinetron yang berasal dari karya-karya Mira W. Kemudian lihat lagi Eiffel I’m In Love, 30 Hari Mencari Cinta, film yang pernah juga menghiasi bioskop-bioskop Indonesia, semua itu adalah karya-karya yang berangkat dari novel. Film Ayat-ayat Cinta juga dibuat berdasar novel Ayat-ayat Cinta yang best seller. Pasti penulis-penulisnya menjadi milyader karena itu.
Betapa karya sastra memiliki jenjang lama untuk bertahan. Ada banyak peluang yang terbuka, dan setiap peluang itu tentu saja akan menambah banyak pundi-pundi pendapatan penulis. Dengan memperhitungkan ini, kita bisa melihat betapa menjanjikan prospek dunia kepenulisan yang saat ini masih minoritas.
Jane K. Rowling (penulis novel Harry Potter), mulanya merasa hidupnya sangat susah. Dia sebagai janda dengan dua anak, harus pontang-panting bekerja, karena sebagai ibu yang sekaligus ayah (single parent). Lalu dengan tekad bulat ia memutuskan untuk menulis. Keputusannya bukan atas dasar rasa frustasi dan emosi saja, tapi berdasarkan pengalaman dan skill-nya sebagai sarjana jurusan sastra. Dan saat dia sampai pada keputusan itu, pengalamannya sebagai sekretaris dan bekerja yang lain dirasakan sebagai penderitaan semata. Padahal, bekerja sebagai sekretaris adalah untuk membahagiakan ibunya yang menginginkan ia sebagai sekretaris.
Harry Potter hanyalah tokoh rekaan yang muncul dalam khayalnya. Dan Rowling mengaku sebenarnya dia ingin tokoh anak perempuan, tapi yang muncul justru anak laki-laki. Ee..., ternyata dengan menulis khayalan itu, yang akhirnya diterbitkan sebagai buku Harry Potter, Jane K. Rowling bisa terbang ke mana pun sesuka hati, seperti khayalannya.
Tentu saja tidak menggunakan sapu lidi, tetapi menumpang pesawat terbang. Meskipun tetap saja membayar, tidak lagi menjadi persoalan. Sebab bukunya telah memberinya uang bermilyar-milyar dolar. Apalagi ketika Warner Bross, entertaiment film terbesar di Amerika menawarkan untuk pembuatan film Harry Potter, kekayaan Jane K. Rowling meroket hingga dapat melebihi kekayaan Ratu Elisabeth.
Mengenal dan Menulis Fiksi
Karya fiksi dalam pengertian sederhana adalah semua cerita rekaan yang benar-benar rekaan atau kadang dicampur dengan kenyataan, atau menceritakan kembali kenyataan yang disampaikan dengan menambahkan khayalan-khayalan.
Bentuk karya fiksi digolongkan menjadi tiga, yaitu dongeng, cerita pendek, dan novel. Secara definitif bentuk dan isi ketiganya memang memiliki perbedaan yang tegas.
Dongeng masih digolongkan ke dalam beberapa jenis, yaitu legenda, fabel, dan mitos. Dongeng oleh masyarakat yang hidup pada sebelum abad 18 dituturkan turun temurun dari orang tua ke anak-anak. Cerita yang termasuk dalam dongeng diyakini memaparkan rekaan kehidupan yang indah-indah dan mengandung maksud-maksud edukatif. Waktu penyampaiannya biasanya dituturkan sebelum tidur. Sehingga pada masa itu, dikenal dongeng sebelum tidur. Dalam kaca mata psikologis, kesadaran anak pada waktu menjelang tidur berada diambang bawah sadar. Pada saat demikian, kondisi fisik yang relaks, sangat memungkinkan bawah sadar anak akan menerima pesan-pesan berupa nilai-nilai positif kehidupan. Sehingga perkembangan jiwa yang didorong oleh imajinasi pikiran dan kematangan perasaan (emosi) sangat maksimal.
Adapun yng termasuk fabel adalah cerita yang menggambarkan kehidupan binatang. Cerita fabel mengisahkan binatang yang berperilaku seperti manusia. Binatang-binatang memiliki kemampuan berbicara dan tata nilai kehidupan seperti manusia. Yang termasuk dalam fabel misalnya cerita kancil.
Legenda biasanya berupa cerita-cerita asal-usul terjadinya suatu tempat. Cerita legenda biasanya mengisahkan tokoh-tokoh manusia atau tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar pada zamannya. Legenda juga mengandung nilai-nilai edukatif atau pesan-pesan moral. Misalnya cerita Malin Kundang, memberikan pesan moral tidak boleh melupakan orang tua. Legenda Tangkuban Perahu menyampaikan pesan tidak boleh melakukan perkawinan inses atau perkawinan dengan kerabat sekandung.
Mitos menyampaikan tentang keyakinan masyarakat yang sangat sulit dibuktikan secara logika, misalnya dewa-dewa dan makhluk gaib. Misalnya cerita Nyai Rara Kidul, Jaka Tarup dan Nawang Wulan, Joko Bodo, Rara Jonggrang, dan sebagainya.
Yang perlu kita ingat, fabel dan legenda tidak hanya ada di Indonesia dan menjadi milik bangsa ini saja. Tetapi juga ada pada bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Cerita Pendek (Short Story)
Cerita pendek (cerpen atau short story) biasa disebut sebagai cerita singkat. Isi cerita biasanya mengenai kehidupan manusia sehari-hari. Pengertian secara lebih mendalam mengenai definisi cerpen sampai saat ini masih banyak diperdebatkan oleh para ahli sastra. Terutama berkaitan dengan batas kependekannya. Yang jelas mengapa disebut cerita pendek, itu karena memang pendek atau singkat. Secara struktural cerpen dapat dikatakan terdiri atas, setting waktunya memang benar-benar singkat–tentu saja singkat di sini relatif— konfliknya tunggal (mono conflict), tapi ingat konflik tunggal bukan berarti tidak berbelit-belit loh, dan penyelesaiannya tidak berkepanjangan, meskipun tidak dapat dikatakan sederhana atau simple.
Cerita pedek lebih disenangi oleh sebagian kalangan masyarakat karena mudah dipahami dan tidak memerlukan waktu yang relatif lama untuk membacanya. Cerita pendek biasanya di muat di mass media koran, majalah, dan bahkan media elektronik internet. Cerita pendek juga banyak yang dibukukan sebagai kumpulan cerita.
Untuk lebih memahami cerita pendek, perlu adanya pengertian mendasar terhadap kesusastraan. Cerita pendek merupakan wujud karya sastra yang menjadi bagian dari seni. Seni itu meyampaikan keindahan atau hal-hal yang bersifat estetik. Jadi cerita apa saja, yang indah dan memiliki struktur cerita, bisa disebut cerita pendek.
Cerpen juga dapat dikatakan sebagai pemaparan kehidupan yang paling mengesankan. Berkaitan dengan mengesankan, bisa saja bagi seseorang mengesankan, tapi bagi orang lain tidak. Dengan demikian, cerita pendek adalah pemaparan peristiwa kehidupan, menurut orang yang menulis, indah dan mengesankan. Bisa juga dalam cerpen diceritakan peristiwa yang dialami seseorang secara langsung atau yang didengar dari orang lain.
Bagaimana Menulis Cerita Pendek?
Bagaimana menulis cerita pendek sebenarnya bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sebab jawabnya, ya menulis saja cerita. Namun orang biasanya dan sayangnya nyaris semua orang, bila menulis cerita atau bahkan telah menulis cerita mengalami ketakutan atau sindrom atau pobia sastra. Yang mungkin muncul dalam benak dan pikiran orang tersebut, takut bila cerita yang ditulisnya kemudian dinilai bukan karya sastra. Memang tidak bisa disalahkan orang yang pobia terhadap sastra, sebab saya pernah ditegur dan dikatakan ngawur oleh seorang yang telah mendapat penghargan sebagai sastrawan, ketika buku novel pertama saya sampai di tangannya.
Karena itu, saya sampaikan mengenai nilai sastra tak perlu dipikirkan. Ingat, kelahiran cerita fiksi merupakan hasil kerja kreatif. Kreatif berarti menemukan atau membuat sesuatu yang baru. Karena itu, memang seharusnya tidak mengikuti teori atau norma-norma yang telah dibakukan. Kritikus sastra biasanya meganalisis cerpen berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma sastra yang sudah dibakukan atau telah menjadi teori. Apabila seorang penulis cerpen mengikuti teori-teori sastra, karyanya akan menjadi kering dan terasa kaku bagi pembaca.
Estetika juga tak perlu dipersoalkan bila menjadi halangan saat kita menulis cerita pendek. Sebab, segala sesuatu dapat memiliki nilai estetika bila yang melihat juga memiliki nilai-nilai itu. Apabila si pembaca tidak memiliki pengetahuan dan pandangan positif terhadap objek-objek dengan pemahaman estetika yang memadai, jangan berharap sesuatu yang nilai estetikanya tinggi dinilai demikian. Bisa juga dikatakan, ada atau tidak nilai estetika dalam cerita tergantung siapa dan dari mana sudut pandang yang digunakan.
Menulis cerita pendek dapat dilakukan dengan bermacam pendekatan dan teknik. Pendekatan yang dapat digunakan bisa meliputi sosiologis, edukatif, absurdis, semiotik, psikologis, religius, saintis, dan impresif. Teknik penceritaan dalam cerpen dapat mengacu pada struktur instrinsik cerita yang meliputi, tema, amanat, penokohan, setting, plot atau alur, dan gaya bahasa. Namun juga dapat ditulis secara reseptif, merepresentasikan perasaan dan pikiran tanpa struktur yang dapat disistematisasi.
Menulis Dengan Pendekatan Struktural
Tema
Untuk menulis cerita pendek, kita dapat mengambil ide apa saja yang muncul dari peristiwa sehari-hari yang mengesankan. Apa pun tanpa terkecuali. Peristiwa yang kita alami langsung atau hanya mendengar dari orang lain (tidak langsung) dapat dijadikan cerita. Secara teoritis, peristiwa yang kita jadikan ide cerita dan mengandung satu permasalahan itu kemudian disebut sebagai tema. Tema dalam pelajaran sastra didefinisikan sebagai permasalahan yang dominan dalam sebuah ceirta pendek atau karya sastra. Tema bisa dibeda-bedakan, misalnya tema pendidikan (education), sosial, romantika atau percintaan, psikologis dan sebagainya. Tapi ingat, sebagai penulis fiksi biasanya akan terjebak dan terperosok pada lubang perangkap yang gelap bila berpikir tentang teori sastra.
Setelah mendapatkan tema atau ide cerita yang diperoleh dari peristiwa sehari-hari yang mengesankan, kita dapat mulai menulisnya.
Mulai dari mana? Apa yang terkatakan dalam hati atau pikiran kita ketik saja. Dan terus ikuti pembicaraan-pembicaraan yang terjadi dalam diri kita. Misalnya, dalam benak kita menjerit, “Aaaaaaaaaaaa….” Tulis saja “Aaaaaaaaaaa….!” Lalu, “Aku mendengar jeritan pada subuh basah bergerimis.” Bulu kudukku berdiri. Rasa merinding mengerayangi tubuhku yang dingin. Denyut jantungku berdesir. Nafasku tersengal, mendengar suara sayup yang semakin jelas. Dan tulis terus apa yang ada dalam benak kita.
Bila kita ingat pada perkataan seseorang yang ternyata sesuai dengan cerita yang kita tulis atau ceritakan, tulis saja. Misalnya, “Sebagai ketua RT (rukun tetangga) tugasnya justru lebih berat daripada presiden.”
Amanat
Amanat dapat juga dipahami sebagai pesan yang disampaikan penulis melalui karyanya. Sebenarnya, amanat akan ada secara otomatis dan simultan pada saat cerita disampaikan. Sebab, amanat juga dapat dilihat sebagai hikmah atas satu peristiwa. Jadi bila kita cermati, setiap sesuatu yang terjadi pasti mengandung hikmah atau pesan.
Namun pada era sekarang, ada atau tidak suatu pesan dalam karya sastra tidak terlalu penting diperhatikan. Yang penting, dan menjadi kecenderungan karya sastra sekarang, dan mungkin di masa yang akan datang, adalah kesan. Jadi, bukan pesan melainkan kesan. Bukankah kita sangat tidak nyaman bila menerima banyak pesan yang tidak atau belum tentu bermanfaat bagi kita.
Tokoh dan Penokohan
Menulis tokoh cerita, pilihlah nama yang tidak biasa untuk menamai tokoh –agar terkesan sastra (indah) dan berbeda dengan yang lain— karena sebuah cerita harus memiliki perbedaan (berani tampil beda). Sampaikan juga dalam cerita karakter tokoh secara fisik dan psikis. Menceritakan karakter tokoh secara fisik berarti mendeskrisikan postur tubuhnya (tinggi kurus, atau pendek gempal, gemuk, potongan rambut, dan bila ada aksesoris yang dikenakannya lebih baik juga ditulis).
Menceritakan karakter psikis tokoh bisa dilakukan dengan menggambarkan secara jelas perilaku tokoh. Bagaimana cara ia memandang pada seseorang yang ada di depannya, yang kebetulan dicintainya. Penggambaran itu juga bisa dilakukan dengan mengacu pada sifat-sifat humanis sesuai dengan teori psikologi yang wajar tetapi memiliki ciri khusus. Cara bicaranya, berjalannya, posisi duduknya, dan sebagainya.
Tokoh dan penokohan merupakan unsur penting dalam karya naratif, cerpen, dongeng, dan novel. Pembicaraan mengenai tokoh dengan segala perwatakan dengan berbagai cerita jati dirinya, dalam banyak hal lebih menarik perhatian orang.
Tokoh
Tokoh adalah aktor atau pelaku dalam sebuah cerita. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Dalam suatu karya fiksi, pelaku atau tokoh utama yang disebut protagonis berperan sangat penting menjadi pusat perhatian dalam cerita. Tokoh sebuah cerita dapat tampil sebagai manusia, benda, binatang atau alam dan lingkungannya.
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.
Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Tokoh cerita yang disebut juga character adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya fiksi, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Individu rekaan yang mempunyai karakter tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus. Berdasarkan peranan, tokoh terdiri atas tokoh utama (central character) dan tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kehadirannya lebih sedikit dibanding tokoh utama. Kehadiranya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung.
Berdasarkan fungsi peranannya, tokoh terdiri atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang tampil baik, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal. Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh antagonis beroposisi konfrontasi dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh terdiri atas tokoh sederhana (simple character) dan tokoh bulat (complex character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya dan jati dirinya. Ia dapat memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku yang bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga.
Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (tupical character) dan tokoh netral (neutral character). Tokoh tipikal adalah tokoh tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata. Sedangkan tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia hadir semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan.
Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku. Penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penggambaran yang dimaksud perilaku atau sifat-sifat psokologi yang tampak pada tokoh dengan menggunakan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh dan sikap-sikap tokoh terhadap peristiwa itu kemudian diketahui karakter tokoh. Karakter yang bisa dikenali dikaitkan dengan istilah tokoh uatama dan tokoh bawahan dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Penggunaan istilah “karakter” (character) dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh.
Setting atau Latar
Setting atau latar dapat berupa tempat, strata sosial, zaman atau era waktu dalam kurun tertentu. Tempat sebagai setting cerita adalah termpat-tempat terjadinya sebuah peristiwa yang ada dalam cerita yang disebutkan. Tempat tersebut dapat berupa lingkungan rumah atau lainnya, pulau atau daratan, laut atau di kapal, letak wilayah secara geografis dan administratif, misalnya kota atau desa.
Setting atau latar sosial adalah lingkungan sosial masyarakat yang diceritakan dan berkaitan dengan unsur-unsur struktur yang membangun cerita. Misalnya, linkungan sosial kampung, perkotaan, dan sebagainya.
Plot atau Alur
Dalam menulis cerita pendek urutan waktu kejadian peristiwa dalam cerita bisa disebut dengan alur. Jangan lupa buatlah urutan kejadian atau peristiwa dengan keterangan waktu yang logis (kemarin, sekarang, besok—untuk alur lurus). Urutan waktu kejadian peristiwa dalam cerita sekarang, kemarin—untuk alur balik (flasback).
Penceritaan kejadian dalam satu kesatuan waktu (one part storys of structure), jangan dicampur. Jadi harus dihindarkan penyampaian kejadian peristiwa yang berbeda waktu dan tempat dalam sebuah bagian cerita. Itu akan berakibat membingungkan pembaca. Waktu terjadinya peristiwa itu biasanya disebut sebagai setting waktu. Namun, dalam menulis cerita tak perlu memikirkan alur, maju, mundur (flashback) atau campuran. Bila kita memikirkan itu, tak kunjung menulis. Karena itu, agar kita tidak terpaku memikirkan alur, sementara lupakan saja.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa bagi masing-masing orang tentu memiliki perbedaan yang khas. Hal ini berkaitan dengan latar belakang pendidikan, wawasan, dan perhatian (sense) dan selera (teste) masing-masing dalam ekspresi tulis. Cerpen sebagai bentuk ekapresi tulis dapat berupa tulisan dengan gaya bahasa yang cair dan lugas sehingga mudah dimengerti secara langsung. Ada juga penulis yang dalam menyampaikan cerita menggunakan gaya bahasa simbolis.
Bahasa atau dialek atau gaya bicara tokoh dalam dialog lebih baik disesuaikan dengan setting tempat yang secara kultural memiliki ciri khusus. Misalnya setting tempatnya Yogyakarta, jangan gunakan dialek Jakarta (betawi). Hal ini dapat dilakukan dengan memilih kosa kata yang memiliki kesesuaian makna dengan konsteks.
Sebuah cerpen yang ditulis oleh seorang, hampir dapat dipastikan memiliki gaya bahasa atau cara penuturan yang khas. Hal ini biasa disebut gaya bahasa. Apabila dikehendaki gaya bahasa yang khusus, sehingga dapat menunjukkan ciri khusus bagi penulis dalam menuturkan cerita, hendaknya dipertimbangkan kesesuaian maknanya dengan isi cerita.
Konflik
Permasalah apa yang dapat dijadikan konflik dalam cerita pendek? Apa pun juga bisa menjadi permasalah atau konflik cerita pendek. Mulai dari hal-hal yang sepele atau hal-hal kecil sampai yang besar dan rumit. Mulai dari persoalan-persoalan pribadi yang individual sampai pada permasalahan sosial, semuanya dapat dijadikan konflik. Kita tinggal memilih sesuai dengan inspirasi yang mampir di benak dan menjadi ide. Namun, lebih baik pilihlah masalah yang sederhana tapi menimbulkan efek yang tragis (dramatis), romantis, heroik, atau membahagiakan yang pada umumnya tidak menjadi perhatian masyarakat.
Cerita pendek merupakan karya sastra fiksi, karena itu sebaiknya tokoh dan elemen-elemen lain yang membangun cerita difiktifkan. Sebab, jika tidak akan menjadi tulisan berjenis berita. Akan tetapi, bila ingin menuliskan tempat, nama tokoh, dan sebagainya sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya itu tak apa-apa. Cerita semacam itu biasanya disebut sebagai cerita true story. Kaluapun bukan true story juga boleh.
Dongeng
Dongeng meliputi fabel dan legenda. Fabel itu cerita yang mengisahkan kehidupan binatang, pohon, atau benda mati yang bisa berbicara seperti manusia. Lebih tepatnya, berisi hubungan antara manusia dengan makhluk lain di muka bumi ini. Dongeng yang tokohnya para binatang tetapi berberilaku seperti manusia itu disebut fabel, misalnya cerita Kancil.
Legenda itu cerita rakyat tentang kehidupan di masa lalu. Biasanya legenda menceritakan tentang asal-usul nama sebuah tempat atau benda. Mengenai kehidupan dewa, raja, atau kehidupan makhluk lain (peri, malaikat, nabi, dan sebagainya) juga termasuk legenda. Di Indonesia sangat banyak cerita masa lalu yang termasuk legenda. Dongeng yang menceritakan terjadinya suatu tempat atau benda dengan tokoh manusia atau dewa termasuk dalam kelompok legenda. Misalnya cerita terjadinya Rawapening, cerita Nyai Roro Kidul, cerita terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, cerita Malin Kundang, dan sebagainya.
Legenda sering memiliki muatan mitologi atau daya mistik (takhayul). Mengenai ini, kita boleh percaya juga boleh tidak. Legenda bermitologi itu masih memiliki pengaruh sampai sekarang. Mengenai kebenaran mitos itu, tergantung daripada masyarakat (kita) masih mempercainya atau tidak, membenarkan atau menyalahkannya.
Muatan mitologi itu sebenarnya dapat menjadi potensi bagi kita untuk menulis dongeng. Cerita yang merupakan pengembangan dari dongeng atau cerita aslinya, juga bisa disebut dongeng. Meskipun sebenarnya merupakan cerita baru. Mengenai kebaruan atau tidak, sulit untuk dibedakan, sebab banyak kita temui dongeng yang memiliki pokok cerita sama, tetapi versinya berbeda. Sam Pek Engtay, cerita legenda China itu, di Indonesia mungkin menjadi Roro Mendut dan Pranacitra.
Keterkaitan cerita, baik secara isi, latar, dan unsur-unsur lain, dalam ilmu sastra disebut hubungan intertekstual. Intertekstual bukanlah plagiat. Jadi bukan tabu untuk dilakukan. Orang biasanya dapat menerima bila interferensi itu disebut terinspirasi atau cerita yang telah ada melahirkan ide cerita baru.
Menulis dongeng atau legenda dengan tujuan dikirim ke surat kabar atau majalah, saat ini sangat prospektif secara ekonomi. Berbagai koran dan majalah sekarang banyak yang menyediakan rubrik untuk anak yang berisi dongeng. Saat saya sebagai siswa SMP, bersama teman-teman selalu tersenyum dan tertawa sinis ketika mendengar kabar, tentang teman yang ingin menulis cerita untuk majalah anak-anak. Namun, ternyata sekarang setelah disadari, masalah anak-anak merupakan hal yang sangat penting. Semua orang kini menyadari dan mengakui, child is the future. Dengan menulis dongeng, kita telah memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara, serta memberi hadiah kepada masa depan anak-anak.
Ya, negara-negara maju ternyata memiliki sangat banyak cerita anak yang merangsang anak-anak menjadi cerdas dan pandai. Jepang memiliki cerita Baja Hitam, Power Ranger, Sinchan, Conaan, dan masih banyak lagi cerita yang lain. Amerika dengan Zorro, Batman, Donald Duck, Popeye Si Pelaut, dan Micky Mouse. Inggris memiliki cerita Putri Salju, Beauty and The Beast, Cinderella, dan sebagainya.
Negara-negara lain yang sangat memperhatikan anak-anak, menciptakan cerita dan mainan yang sangat beragam. Anak-anak di negara itu dididik dengan cerita dan permainan yang menstimulasi kreativitas dan imajinasi. Anak-anak itu kemudian tumbuh menjadi orang dewasa yang mampu memakmurkan dirinya, bangsa dan negaranya. Anak-anak di negara itu menjadi orang-orang cerdas yang mampu menaklukkan dunia. Bangsa dan negara Inggris, Amerika, Jerman, Jepang menjadi sangat maju, karena anak-anak mereka, generasi mereka mampu berimajinasi dan berkreasi.
Bagaimana Menulis Dongeng?
Agar kita dapat menulis dongeng, harus mengerti dongeng. Mulailah dengan membaca dongeng-dongeng yang telah ada. Dengan begitu, kita dapat menangkap ide dongeng itu. Bila sejak kecil kita telah mendengar cerita dari orang tua, guru atau siapa pun yang termasuk dongeng, kita dapat menuliskan kembali dengan bahasa sendiri. Cara menulis dongeng menggunakan ide dongeng yang telah ada dengan modifikasi atau mengubah ini menghasilkan dongeng gubahan. Modifikasi dapat dilakukan pada tokoh, setting tempat, setting sosial, konflik, dan sebagainya.
Apabila memiliki ide atau inspirasi pada keadaan dan peristiwa yang sekarang sedang terjadi, kemudian kita akan mendongengkannya, itu lebih bagus. Karya seperti itu disebut dongeng kontemporer. Dongeng kontemporer kini sangat dicari dan disukai pembaca sehinga dicari banyak redaktur. Misalnya Ibu Peri dan Lala itu adalah dongeng kontemporer yang difilm-kan. Dongeng Timun Mas yang disandiwarakan Sanggar Cerita juga sebenarnya karya dongeng. Kita juga pernah melihat film-film kartun kan? Nah itu adalah juga dongeng.
Apabila kita memiliki binatang piaraan kucing atau anjing juga dapat ditulis sebagai dongeng. Kita dapat menceritakan kebiasaan binatang piaraan itu dalam berhubungan dengan kita atau anak kita atau adik kita. Bukankah sering kita lakukan, berbicara dengan binatang piaraan yang sangat kita sayangi? Mengapa itu tidak ditulis? Apabila itu ditulis, berarti kita telah menulis dongeng.
Menulis dongeng biasanya sebagian tujuannya untuk melestarikan budaya dan memberikan bacaan yang mendidik bagi anak-anak. Karena itu, hendaknya isi cerita dan bahasanya disesuaikan dengan psikologi, lingkungan, dan perkembangan anak. Dongeng, meski kadang dibaca orang tua tapi yang menikmatinya anak-anak. Jadi jangan lupa gunakanlah bahasa yang sederhana dan bijaksana agar anak-anak dapat belajar menemukan dirinya melalui penokohan di dalam dongeng itu.
Selain itu, pilihlah peristiwa yang dekat dengan anak-anak. Jika perlu tulislah dongeng yang memiliki visi futuristik (berorientasi kepada masa depan) agar anak-anak memiliki harapan dan kreativitas di masa mendatang. Selain itu akan merangsang imajinasinya, sehingga menjadi anak yang kreatif.
Ingat, jangan membebani anak dengan nilai atau norma yang membelenggunya. Misalnya menakuti-nakuti anak dengan melarang melakukan sesuatu yang sebenarnya wajar. Meskipun secara psikologis pada dasarnya anak hanya akan takut jika dia terjatuh atau mendengar suara keras, bukan tidak mungkin anak kemudian akan takut dengan hantu yang tak pernah diketahuinya. Tetapi ada dalam dongeng.
Apabila anak mengalami ketakutan sangat mungkin akan mengakibatkan sebagian memori otaknya rusak sehingga pikirannya terbelenggu. Secara psikologis, anak yang mengalami ketakutan, apalagi sampai mengalami trauma, memori otaknya akan mengali metal block. Kondisi metal bock ini terjadi pada blue membran (lapisan tipis pada otak) yang lentur berfugsi merekam dan meyimpan memori mengeras. Kondisi ini dapat mengakibatkan kesulitan proses penyimpanan di dalam memori otak bagi anak. Bahkan bisa sampai anak dewasa masih kesulitan mengingat sesuatu karena ketakutan masa kecil.
Mengenai tokoh dan penokohan. Pilihlah tokoh yang dapat dibayangkan oleh anak secara nyata. Ponokohan atau penggambaran perilaku tokoh juga harus nyata. Misalnya, anak tidak bisa mengerti ‘sedih’ itu apa, ‘senang’ itu bagaimana. Karena itu perlu tambahan kata ‘sedih lalu menagis’, ‘tertawa karena senang’.
Penokohan bisa saja diarahkan agar anak mengumpamakan dirinya kepada tokoh tertentu. Oleh karena itu, pemaparan perilaku tokoh hendaknya yang memberikan tauladan bagi si anak. Secara psikologis anak itu ingin meniru, jadi jangan berikan cerita-cerita yang dapat membuat anak meniru perilaku buruk tokoh. Misalnya, memberikan cerita tentang kekerasan kepada anak melalui dongeng. Apabila mungkin, buatlah dongeng yang menumbuhkan jiwa positif pada anak, misalnya tentang petualangan, kepahlawanan atau keberanian, kecerdikan, kebijaksanaan, dan sebagainya. Hal ini dapat dimasukkan ke dalam perilaku tokoh.
Novel/Roman
Novel/roman merupakan cerita fiktif seperti halnya cerita pendek. Cerita yang disebut novel itu memaparkan peristiwa kehidupan tokoh-tokohnya pada kurun waktu tertentu. Permasalahan yang menjadi konflik pada novel bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Namun, masih dalam kaitan satu kerangka permasalahan atau tema yang sama. Hal ini biasanya diwujudkan dalam judul, misalnya Larung karya Ayu Utami yang memenangkan lomba penulisan novel 1993 itu menceritakan hilangnya tokoh Wisanggeni dan tokoh-tokoh lainnya secara fisik, psikologis, dan sosial. Mungkin karena itu novel tersebut berjudul Larung—yang dalam arti kontekstual adalah hilang terbawa arus sungai atau laut.
Novel hampir juga dapat dikatakan sebagai biografi tokoh. Yang membedakan antara novel dan biografi adalah akhir cerita atau peristiwa terakhir yang dialami tokoh. Novel tokohnya tidak diceritakan dari lahir sampai mati. Tetapi cukup pada perubahan keadaan kehidupannya atau status nasibnya. Sedangkan biografi menceritakan tokoh dari lahir sampai mati. Perbedaan lain, tokoh novel bisa fiktif atau nyata, tapi tokoh biografi adalah sebenarnya.
Novel yang telah dibukukan banyak yang mulanya merupakan cerita bersambung di koran atau majalah, misalnya Sam Pho Kong karya Remy Silado. Sebelum dibukukan cerita itu di terbitkan secara bersambung di Harian Suara Merdeka. Novel yang semula telah diterbitkan sebagai buku kemudian diterbitkan secara bersambung di Koran juga ada. Di harian Suara Merdeka memuat cerita bersambung Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Pemuatan novel di koran, biasanya dipotong-potong sesuai dengan ruang yang tersedia di koran. Ya kira-kira 7 sampai 8 halaman kuarto spasi rangkap. Namun, tidak semuannya demikian, ada juga novel yang langsung diterbikan dalam bentuk buku. Bahkan akhir-akhir ini banyak penerbit yang berburu penulis muda atau junior untuk menulis novel. Misalnya penerbit Gagas Media -- Jakarta, Mizan -- Bandung, Gramedia Media Pustaka – Jakarta dan sebagainya.
Ternyata menulis novel itu sangat mudah. Tidak sulit seperti yang kita bayangkan selama ini. Kita harus segera memulai menulisnya bila ingin memiliki karya novel. Jika tidak, hampir dapat dipastikan tak akan pernah dapat menulisnya. Jangan pernah menunggu diri Anda menjadi sastrawan atau mengerti sastra terlebih dahulu bila ingin menulis novel. Novel tidak harus lahir dari sastrawan atau novelis. Orang biasa juga boleh menerbitkan novel jika telah menulisnya. Karena itu, segera saja memulainya. Sekarang!
Apa yang dapat dituliskan dalam novel?
Semua bisa ditulis dalam novel. Mulai dari kebiasaan seseorang yang biasa kita temui sampai peristiwa yang dramatis. Baik yang terjadi pada kurun waktu yang cukup lama maupun pada waktu yang singkat yang mengubah kehidupannya. Dengan demikian orang tersebut dapat kita jadikan sebagai tokoh utama. Orang-orang yang terkait langsung atau tidak berarti sebagai tokoh bawahan atau tokoh pendukung dalam novel.
Mengenai setting, ya tempat dan lingkungan sosial orang yang menjadi tokoh utama itu. Novel tidak harus menggunakan bahasa yang sulit-sulit atau menggunakan gaya bahasa sastra. Menulis novel dengan bahasa sehari-hari pun tidak masalah. Apalagi harus berpikir gaya bahasa hiperbola, eufimisme segala. Novel memang menggunakan bahasa, tapi novel dinilai bukan karena bahasa yang digunakan. Bahasa hanyalah alat untuk mengungkapkan atau memaparkan peristiwa demi peristiwa, keindahan demi keindahan.
Novel dinilai juga bukan karena isi yang disampaikan mengandung nilai-nilai filosofis atau edukatif. Tapi menyampaikan keadaan kehidupan secara jujur dan benar yang disusun dalam bentuk cerita juga bisa disebut novel. Bentuk seperti itu dapat dinilai dan dinikmati pembaca. Rekaan yang merupakan kenyataan sehari-hari adalah kebenaran di dalam novel. Sedangkan kenyataan yang penuh dengan kepura-puraan adalah kehidupan sehari-hari.
Kebenaran adalah abadi. Karena itu karya sastra berupa novel tetap abadi meskipun penciptanya telah tiada. Kita tentu mengenal Shakespeare dengan karyanya Romeo and Juliet, Marah Rusli dengan karyanya Siti Nurbaya, dan sebagainya.
Menulis Sinopsis SebelumNovel Jadi
Novel biasanya menceritakan peristiwa-peristiwa yang cukup banyak dan perjalanan kehidupan tokoh-tokoh yang cukup panjang. Oleh karena itu, untuk menjaga agar terjadi keterkaitan bagian-bagian cerita yang erat, akan lebih baik bila dibuat sinopsis cerita atau ringkasan cerita lebih dulu sebelum novel selesai ditulis. Pembuatan sinopsis juga dapat digunakan sebagai guide to wrote dan mengikat ide agar tidak hilang karena tertumpuk oleh berbagai memori yang harus disimpan oleh penulis.
Contoh (1) Dongeng
LIKI DAN KELINCI*
Di sebuah desa terpencil di kerajaan Mandala, hidup seorang kakek tua Loko dan cucunya bernama Liki. Kakek Loko adalah petani yang menanam bermacam-macam sayur-sayuran dan buah-buahan. Suatu saat kakek menanam wortel. Karena ladang yang dimilikinya tidak terlalu luas, kakek cuma menanami satu jenis sayuran saja agar dapat memanen wortel yang banyak.
Kakek Loko dan Liki berangkat ke ladang pagi-pagi untuk memanen wortel. Liki senang sekali kalau tiba waktunya memanen. Sepanjang perjalanan dia bernyanyi-nyanyi gembira. Tidak lama kemudian sampailah kakek Loko dan Liki di ladang. Tapi alangkah terkejutnya mereka ketika melihat hampir seluruh wortel habis dimakan binatang. Entah binatang apa yang memakannya. Mereka berdua saling berpandangan tidak percaya. Mereka benar-benar lemas melihat hasil jerih payahnya habis.
“Kakek, kenapa bisa begini? Kira-kira binatang apa yang memakan wortel kita?” tanya Liki sedih.
“Kakek tidak tahu. Mungkin kelinci atau mungkin tikus, atau mungkin binatang lain.”
“Terus kita harus bagaimana kakek?” tanya Liki lagi.
“Kakek juga tidak tahu.”
Akhirnya mereka berdua hanya duduk-duduk di pinggir ladang sambil menatap sisa-sisa wortel yang masih ada. Lalu kakek Loko mengajak Liki segera mengambil wortel yang tersisa. Setelah selesai, mereka berdua duduk sambil makan bekal yang dibawa dari rumah. Ketika mereka berdua sedang makan, tiba-tiba ada seekor kelinci gemuk berwarna putih yang melompat-lompat dengan lincahnya. Mereka berdua kaget. Kakek langsung mengejar kelinci itu. Tapi, Liki tetap duduk. Kontan saja kelinci itu lari terbirit-birit. Kakek yang sudah tua mana mungkin bisa menangkap kelinci yang lari begitu cepat.
“Liki, tolong bantu kakek.”
Liki langsung bangkit dari duduknya dan ikut mengejar kelinci itu. Dalam waktu singkat, kelinci itu bisa ditangkap Liki.
“Dasar kelinci tidak tahu aturan. Wortel sebanyak itu dimakan sendiri. Dasar kelinci rakus. Kau akan kujadikan sate, sebagai ganti semua wortelku yang telah kau makan,” kata kakek dengan marah. Liki pun mengangguk-angguk tanda setuju.
Tapi tiba-tiba, “Ampun, tuan..., Ampun. Tolong jangan makan aku. Sudah tiga hari aku tidak makan. Saat aku tahu di sini ada wortel aku tidak bisa menahan diri,” kata kelinci memohon.
“Kenapa kau tidak minta izin dulu. Kalau kau minta pasti juga kami beri. Sekarang kami tidak punya apa-apa untuk dijual ke pasar. Kalau tidak punya uang kami mau makan apa?” tanya kakek sangat marah.
“Ampun tuan, ampuuun,” kelinci itu mengiba-iba.
Mendengar suara kelinci itu Liki merasa iba. Lalu ia berkata, “Kakek, sudahlah. Maafkan saja kelinci itu. Kelihatannya dia memang kelaparan. Biarkan saja dia. Atau dia kita pelihara saja. Biar Liki punya teman bermain. Selama ini kan Liki hanya bermain dengan kakek saja,” kata Liki memelas.
Kakek yang sangat menyayangi Liki menjadi kasihan mendengar permintaan Liki. Memang selama ini Liki tidak punya teman bermain. Hanya dia yang menemani, itu pun tidak bisa setiap hari. Akhirnya kakek melepaskan kelinci itu. Kelinci pun berterima kasih pada kakek dan Liki.
Sejak saat itu, kelinci dan Liki berteman akrab. Liki sangat sayang pada kelinci itu. Dia bahkan rela berkorban untuk kelinci itu. Setiap hari Liki memberikan sebagian makannya kepada kelinci.
Suatu hari, saat mereka bermain agak jauh ke dalam hutan, tiba-tiba muncul harimau. Mereka berdua sangat kaget. Kelinci sangat ketakutan dan dia bersembunyi di belakang Liki. Liki dengan gagah langsung menghadang harimau itu. Harimau itu tentu saja marah, ‘Pergi kau, jangan coba-coba menghalangiku. Apa kau mau kumakan juga?” kata harimau.
“Coba saja kalau kau berani, lagipula kelinci ini sedang sakit. Penyakitnya menular dan sangat berbahaya. Kalau kau memakannya kau bisa mati.”
“Bohong. Tadi kulihat dia bermain denganmu. Dan dia kelihatannya baik-baik saja.”
“Kalau tidak percaya, coba saja kau makan dia. Kau pasti akan ikut mati.”
Harimau jadi ragu-ragu. Tapi kalau memakan Liki dia juga tidak mau. Dia tidak suka dengan daging manusia. Akhirnya, dengan ragu-ragu harimau itu meninggalkan Liki dan kelinci. Setelah harimau pergi, kelinci menangis.
“Terima kasih, kau baik sekali padaku. Aku jadi ingat dengan majikanku. Dia juga baik sekali padaku,” kata kelinci.
“Kau punya majikan?” tanya Liki kaget.
“Ya, sebenarnya aku milik sang pangeran. Aku tinggal di istana kerajaan Mandala. Waktu itu aku bermain sendirian. Karena terlalu asyik bermain aku tidak sadar kalau sudah meninggalkan istana terlalu jauh. Aku tersesat, kemudian aku sampai di ladang kakek,” jelas kelinci panjang lebar. Liki melongo memandangnya.
“Jadi kau kelinci milik pangeran. Kalau begitu aku harus mengembalikannya. Tapi nanti aku tidak punya teman lagi. Aku akan kesepian,” kata hati Liki. Liki benar-benar bingung.
Liki dan kelinci pun pulang kerumah. Sepanjang perjalanan Liki diam saja. Tentu saja Kelinci bingung melihatnya. Saat itu kakek baru pulang dari ladang. Dia melihat Liki sedang sedih.
“Liki kenapa? Sepertinya Liki sedang sedih?” tanya kakek.
Liki menceritakan kalau kelinci itu ternyata milik pangeran. Liki bingung, apakah harus dia kembalikan atau tidak. Kakek mengerti apa yang dirasakan Liki. Dia hanya berkata, ”Semua terserah Liki, tapi satu hal harus Liki ingat, kita tidak boleh mengakui sesuatu yang bukan milik kita.”
Liki mengangguk-angguk tanda mengerti. Sejurus kemudian dia berkata, ”Kakek, antarkan aku ke istana ya.”
“Tentu,” jawab kakek sambil tersenyum senang.
Keesokan harinya, kakek Loko, Liki, dan kelinci pergi ke istana. Ketika sampai di istana, kelinci itu begitu gembira dan langsung berlari ke dalam mencari pangeran.
Saat itu pangeran sedang menangis karena kelinci kesayangannya belum juga ditemukan. Raja dan Ratu sibuk membujuknya, tapi pangeran tidak mau diam.
“Pangeran...,” panggil kelinci. Pangeran kaget. Dia langsung berlari ke tempat kelinci dan memeluknya, ”kau dari mana saja? Kenapa baru pulang?”
Kelinci menceritakan pengalamannya. Dia bercerita tentang Liki dan kakek Loko. Dia bahkan bercerita tentang keberanian Liki menyelamatkannya dari Harimau. Pangeran, Raja, dan Ratu kemudian menemui Liki dan kakek Loko yang sedang menunngu di luar.
“Kakek Loko dan Liki, kami mengucapkan terimakasih karena kalian telah menjaga kelinci dengan baik. Sekarang kalian ingin hadiah apa?” tanya paduka raja.
Kakek menjawab, ”Kami tidak ingin hadiah apa-apa,” kata kakek Loko sambil memandang Liki yang sedang berusaha menahan diri untuk tidak menangis.
Tiba-tiba pangeran berkata, “Aku tahu apa yang Liki inginkan. Liki pasti ingin tetap bermain dengan kelinci. Iya kan? Ayah, kenapa tidak kita biarkan Liki dan kakek Loko tinggal di istana saja. Kakek bisa menjadi tukang kebun istana dan Liki bisa menemaniku dan kelinci. Lagipula Liki sudah menyelamatkan kelinci. Aku rasa itu hadiah yang pantas.”
Baginda Raja tampak berpikir. Kemudian dia berkata, ”Aku setuju dengan pangeran. Bagaimana dengan kalian berdua?” tanya Raja pada Liki dan Kakek. Mereka berdua berpandangan satu sama lain dengan tidak percaya.
“Benarkah baginda?” tanya kakek tidak percaya.
“Tentu saja,” jawab baginda.
“Tentu kami mau baginda,” jawab kakek Loko dan Liki serempak, lalu tersenyum bahagia. Sementara itu kelinci dan pangeran juga tersenyum bahagia membayangkan hari-hari berikutnya mereka akan bermain bersama.*Diceritakan oleh Putri Anggit Hapsari, aktivis Tinta Intitute.
Bedah Proses Menulis Dongeng Contoh (1)
Ide menulis dongeng ini muncul ketika penulis melihat kelinci yang dijual di pasar. Lalu penulis ingin menulis cerita tentang kelinci yang bersahabat dengan manusia. Untuk membuat cerita memiliki unsur-unsur dingeng, dia mengambil setting waktu ketika zaman kerajaan.
Konflik cerita dimulai dengan peristiwa di ladang kakek Loko yang ditanami wortel habis ketika akan dipanen. Dan wortel memang makanan yang sangat disenangi kelinci. Penokohan dimunculkan pada peristiwa ini. Kakek Loko yang sudah tua tapi masih bersemangat dan besikap melindungi. Liki yang masih ana-anak dan berhati baik, pemberani, dan cerdas juga mulai tampak dengan sikap dan tindakannya.
Konflik kedua untuk lebih mendramatisasi terjadinya persahaban yang sangat kuat diceritakan dengan peristiwa ketika Liki dan kelinci bermain di hutan dan bertemu dengan harimau. Persahaban dan kebijaksanaan juga dimunculkan pada tokoh pangeran dan raja. Hal ini diceritakan pada saat kakek Loko dan Liki mengantarkan kelinci ke istana untuk dikembalikan kepada pangeran. Sikap pangeran dan raja menjadi tauladan, bahwa rasa menghargai sesama dan jasa atau budi pekerti yang baik harus diutamakan.
Secara teknis, kata dan kalimat yang digunakan untuk memaparkan cerita juga cukup sederhana. Dialog-dialog yang digunakan juga menggunakan bahasa yang tidak sulit, sehingga mudah dipahami oleh anak-anak.
Contoh (2) Cerita Anak
Kentongan Ramadhan*
“Sahur....sahur, sahur....sahur...”
Suara teriakan diselingi suara kentongan membangunkan Andi dari mimpinya. Bergegas ia turun dari tempat tidurnya dan segera berlari ke arah rombongan pembawa kentongan itu. Namun baru saja Andi keluar kamar, Ibu melihatnya.
“Andi, mau ke mana?” tanya Ibu.
“Keluar Bu, melihat rombongan itu,” jawab Andi.
“Jangan lama-lama ya, nanti kamu terlambat makan sahur.”
“Baik Bu, sebentar saja kok.”
Dalam rombongan itu Andi melihat Ato dan Dika, teman sekelasnya, menabuh kentongan sembari meneriakkan sahur...sahur, namun mereka tidak menoleh ke arah Andi. Andi ingin mendekat,tetapi terdengar suara ibu memanggilnya.
“Andi, ayo cepat makan sahur.”
Andi mengurungkan niatnya untuk mendekat. Ia lalu masuk rumah dan menuju ke meja makan. Di meja makan berbentuk persegi dan dilapisi plastik bening itu telah tersaji nasi hangat dengan lauk rendang, tersedia juga buah-buahan dan minuman.Andi dan kedua orang tuanya makan sahur dengan lahap. Masakan Ibu memang enak, membuat Andi ingin nambah lagi dan lagi.
Tak lama kemudian terdengar suara imsak, tanda waktu makan sahur telah habis. Andi membantu ibunya membawa piring dan gelas kotor ke dapur. Setelah itu, Andi pergi ke masjid bersama ayahnya. Masjid itu terletak tidak jauh dari rumahnya, hanya berjarak sekitar 200 meter. Masjid itu tampak bersih dan indah, karena baru semingu yang lalu masyarakat sekitar masjid bergotong royong membersihkan dan mengecat kembali masjid itu dalam rangka menyambut bulan ramadhan.
Keesokan harinya, Andi kembali masuk sekolah seperti biasa. Di sekolah, Andi bertemu dengan Ato dan Dika, kedua temannya yang semalam dilihatnya sedang berkeliling kampung menabuh kentongan membangunkan orang-orang untuk bersahur.
“Hai Ato, Dika, semalam aku lihat kalian sewaktu kalian masih berkeliling kampung,” sapa Andi.
“Oh ya, kamu di mana, kok kami tidak melihatmu?” kata Dika.
“Aku di depan pintu rumahku.”
“Kenapa tidak memanggil kami?” sahut Ato.
“Sebenarnya aku ingin mendekat, tapi keburu dipanggil Ibuku untuk makan sahur,” jawab Andi.
“Kamu ingin bergabung bersama kami?”
“Mau banget, tapi aku nggak punya kentongan.”
“Jangan khawatir, kami bisa usahakan,” kata Ato.
“Kalau kamu memang serius, nanti malam jam 02.00, kamu sudah harus berada di luar rumahmu, nanti kami jemput, OK?” ika menimpali.
“Jangan lupa ijin sama orang tuamu.”
“Beres dah.”
Hati Andi berbunga-bunga,ia ingin sekali hari ini berjalan secepat mungkin sehingga ina bisa secepatnya ikut rombongan berkeliling kampung sambil menabuh kentongan. Namun ada satu ganjalan dalam hatinya, apakah orang tuanya akan menijinkannya, Andi tidak yakin. Setahu Andi, orang tuanya tidak mudah melepaskan Andi untuk pergi, kemanapun ia pergi harus selalu ijin, bahkan untuk sekedar bermain bola dengan teman-temannya pun ia harus ijin, padahal kegiatan itu dilakukannya pada sore hari. Apalagi sekarang ia ingin ikut berkeliling kampung pada malam hari, apakah orang tua terutama ibunya akan mengijinkannya.
Hari itu terasa sangat melelahkan bagi Andi dan teman-temannya. Ketika jam pelajaran berlangsung, terlihat beberapa anak tertidur di kelas karena didera rasa kantuk, haus dan lapar karena berpuasa. Seusai sekolah berakhir Andi segera pulang. Ia ingin secepatnya sampai di rumah dan menemui ibunya untuk meminta ijin. Sesampainya di rumah, Andi menemui ibunya dan mengutarakan keinginannya.
“Nggak boleh Andi, udara malam tidak baik untuk tubuh kamu, lagipula nanti kamu akan mengantuk karena kurang tidur. Dan Ibu tidak mau kamu tidak berpuasa gara-gara terlambat makan sahur.”
“Tapi Bu, Ato dan Dika juga ikut,” rengek Andi.
“Pokoknya Ibu tidak mengijinkan, sekarang kamu ganti baju dan istirahat di kamar.”
Tanpa berkata apa-apa lagi Andi masuk ke kamarnya dan membenamkan dirinya ke tempat tidur. Ia merasa sangat kesal, kenapa ibunya tidak mengijinkannya. Andi kan anak laki-laki, ia cukup kuat untuk sekadar menahan dinginnya udara malam, lagi pula ia kan bisa pakai jaket. Tapi percuma, Andi tidak berani membantah ibunya.
Sore harinya menjelang waktu berbuka puasa, Ayah memanggilnya.
“Andi, bisa ke sini sebentar Nak.”
“Ada apa Yah?”
“Ayah dengar dari ibumu, katanya kamu ingin ikut keliling kampung nanti malam, benar begitu?”
“Benar Yah, tapi nggak boleh sama Ibu.”
“Setelah Ayah dan Ibu pertimbangkan, kamu boleh ikut nanti malam.”
“Beneran Yah, Bu, terima kasih, Andi seneng banget.”
“Tapi syaratnya, pukul 03.30 kamu harus sudah pulang untuk makan sahur, dan jangan terlalu sering,” tambah Ibunya.
“Iya Bu, Andi janji.”
Malam harinya, tepat pukul 02.00, Andi sudah berdiri di depan rumahnya dengan memakai celana panjang dan jaket. Tak lama kemudian, datang Ato, Dika dan teman-temannya yang lain untuk menjemput Andi.
“Sahur....sahur, ashur...sahur....” teriak Andi bersemangat.
*Diceritakan oleh Farodilla, aktivis Tinta Institute.
Bedah Proses Menulis Cerpen
Cerpen Kentongan Ramadhan karya Farodillah di atas telah dimuat di Tabloid Yunior (suplemen anak Suara Merdeka). Membaca judul cerita tersebut, jelas menyalahi logika. Sebab, tidak ada kentongan yang dibuat dari ramadhan. Yang ada adalah kentongan bambu atau kentongan kayu, karena dibuat dari bambu atau kayu. Namun, secara kontekstual dan mengikuti hukum Diterangkan-Menerangkan (DM), kita dapat memahaminya, yaitu kentongan yang ditabuh pada bulan Ramadan. Judul cerita itu menjadi sangat menarik karena dikirimkan dan dimuat pada bulan Ramadhan.
Kalimat pertama cerpen yang ditulis pencerita adalah kutipan aktivitas tokoh cerita yang sedang keliling kampung pada dini hari di bulan Ramadhan. Konflik dimunculkan bersamaan munculnya tokoh Andi yang keluar rumah dan ditegur ibunya. Konflik dipertajam dengan ketertarikan Andi yang sangat pada peristiwa teriak-teriak anak sebayanya sambil menabuh kentongan untuk membangunkan warga di kampung agar makan sahur. Kesangatan keinginan itu disebabkan Andi melihat teman-teman sebayanya.
Penulis menjadikan Ato, Dika, dan Andi dapat bertemu secara logis dengan memilih latar peristiwa terjadi di sekolah. Mereka adalah teman sekelas. Ini semakin menajamkan konflik psikologis tokoh Andi, untuk meminta ijin orang tuanya. Setting sosial ditunjukkan dengan keadaan keluarga Andi yang termasuk keluarga kelas menengah –memiliki tradisi makan bersama satu meja, yang sangat protektif terhadap anaknya. Hal ini untuk membangun logika, menyelaraskan setting tempat ‘kampung’ dengan sikap orang tua Andi. Setting sosial keadaan kelas yang dipaparkan juga menimbulkan empati pada pembaca. Hal ini menjadi kekuatan sebauh cerita.
Perwujudan konflik ditunjukkan dengan pertemuan Andi dan ibunya. Andi meminta ijin tetapi ibunya tidak mengijinkan. Perdebatan disampaikan dengan visi masing-masing tokoh. Ibu mengungkapkan alasan-alasan orang dewasa –khawatir bila Andi sakit, telat makan sahur dan sebagainya-- sedangkan Andi mengungkapkan alasan-alasan anak-anak –temanya juga melakukannya.
Penyelesaian konflik dengan menghadirkan tokoh ayah yang membolehkan Andi ikut menabuh kentongan bersama Ato dan Dika. Penyelesaian ini logis karena dalam budaya Jawa (Indonesia) ayah adalah orang yang memegang keputusan atas segala hal di keluarga –termasuk melarang atau mengijinkan anaknya melakukan sesuatau. Penulis mengarahkan cerita ini happy ending dengan tidak mengarahkan cerita ke perbuatan back street (jalan belakang) yang biasa dilakukan anak-anak bila orang tuannya tidak mengijinkan.
Penokohan dilakukan dengan menunjukkan secara tersurat sikap Andi yang patuh dengan orang tuannya. Penokohan ibu yang protektif juga tampak sebagai orangtua yang saleh. Ayahnya, yang diduga juga akan melarang, ternyata justru bertindak bijaksana. Hal ini menjadi kejutan bagi pembaca sehingga cerita ini memiliki kekuatan mengesankan setelah dibaca.
Menurut pengakuan penulis, ide cerita ini adalah mengungkap peristiwa nyata saat penulis masih kecil –kira-kira masih sekolah dasar. Kemunculannya pada saat Ramadhan, persis saat penulis mengalami peristiwa nyata itu. Namun, cerita ini ditulis saat ia (Farodillah) semester tiga di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.