Senin, 28 Maret 2011

cerpen berkaitan dengan psikologi dan kehidupan

Dunia ketidakpastian kau dan aku
Aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan di malam yang terlanjur hujan sudah mereda ini. Kukirimkan sebait kalimat untukmu. Kaupun membalasnya dengan segera dan kau bilang sedang mendengarkan lagu-lagu yang kau sukai yang sebenarmya adalah lagu yang sama kusuka. Kau bilang kau sedang menulis sesuatu sedangkan aku tak tahu apa yang sedang kau tulis karena saat aku sudah membalas sms yang ketiga dan sudah kukirim kepadamu, justru kau tak membalasnya lagi. Kau raib. Menghilang di saat sebenarnya aku ingin kau hadir malam ini untuk menemani kesendirianku. Sedang apakah dirimu? Aku yakin kamu belum terlelap oleh dewa mimpi yang membawamu kedalam mimpi di sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga bewarna warni serta dihinggapi berbagai macam kupu-kupu yang setiap orang ingin menangkapnya.
Kau sedang duduk sendirian di taman itu sedang menunggu seseorang tanpa kepastian namun hanya keyakinan akan ada yang datang. Dan saat kau berbalik dari arahmu yang semula, tiba-tiba datang seorang pangeran yang menaiki seekor kuda putih dengan segenggam mawar merah muda dalam balutan plastik kertas bewarna biru, warna yang paling kau suka. Pangeran tadi datang kepadamu dan mengajakmu naik di atas pelana kudanya yang bewarna putih bersih nan suci. Dan saat pangeran tadi membawamu menyusuri sungai yang alirannya tak begitu deras karena musim hujan sudah tak lagi hadir menemani, tiba-tiba kau terbangun dan kau temukan dirimu sedang duduk termenung dalam lamunan dengan perhatianmu kembali kepada hp yang sedari tadi masih kau genggam dalam tangan kirimu, bukan mawar merah pemberian kekasih yang kau tunggu, tak kunjung tanpa kepastian.
Aku tulis beberapa bait lagi dalam layar ini tapi kuurungkan untuk mengirimnya kepadamu karena aku tahu kau sedang tak ingin membacanya sekalipun sebenarnya kamu ingin dan sedang menantikannya. Barangkali moment yang belum pas. Karena kau sedang menunggu dan orang yang sedang kau tunggu ternyata juga sedang menunggumu dalam kepastiaannya. Namun kepastiaannya tak sama dengan kepastian yang kau harapkan sehingga kau menginginkan sebuah kejelasan darinya. Namun dia tak kunjung menerima sinyal-sinyal yang telah kau sampaikan lewat aliran udara bebas, lewat air embun di pagi buta serta lewat tanah yang selalu kau injak saat kau masih kecil.
Tapi memang begitulah aku adanya. Aku tetap akan menunggumu sekalipun aku tak bisa memberi sebuah kepastian karena di dunia ini tak ada yang pasti sebelum benar-benar terjadi. Semuanya tampak abstrak dan hanya hidup dalam kira-kira. Hidup dalam ketidakmenentuan. Hanya kemungkinan yang masih bisa dipegang dan dipertahankan. Dan aku lebih memilih kemungkinan yang bagimu seperti air yang digodog dalam periuk tanpa api yang menyala. Hanya tungku yang diam saja. Seperti itulah aku percaya bahwa air yang digodog tadi pasti akan masak tapi masih menunggu lama karena api belum juga menyala disana. Barangkali api itu adalah kamu sementara tungku itulah aku yang sedang menunggumu, sementara air yang akan dimasak itulah cinta yang sedang aku dan kau akan semai bersama suatu saat. Tinggal menunggu waktu kapan Tuhan akan menjawab doaku serta doamu.

Pagi ini langit tak secerah biasanya. Padahal ini sudah terhitung bulan musim dimana mentari akan bersinar terik membakar apa yang ada di bumi. Tapi tampaknya mentari begitu hafal kapan dia harus muncul dan kapan dia harus bersembunyi dibalik tirai hitam, bukan tirai kuning yang selalu kau gunakan untuk bersembunyi dalam penantian di malam-malam sepi menunggu seseorang untuk membukanya, salah satunya adalah aku yang kau harapkan untuk membukanya lalu membawamu ke alam ketidak sadaran, linglung dan lupa akan segalanya.
Pagi ini, karena langit sedang bersedih maka mentari lebih pragmatig dan tahu diri membiarkan langit untuk menikmati kesedihannya dan tak mau mengganggunya. Sesekali angin lumayan kencang membantu sesenggukan langit biar ia benar-benar tampak sedang bersedih, lalu rintik air matanya turun dengan perlahan tapi penuh kepastian. Ya,kepastian ketika ia sedih maka ia akan mengeluarkan air matanya lewat mega-mega hitam yang menggelantung di mukanya. Ini beda dengan dirimu di pagi ini. Kau tetap seperti biasa sudah tak serapuh dulu kala. Kau sudah menemukan resep untuk mengarungi perjalanan kehidupan yang tak menentu dengan penuh keyakinan. Padahal dulu kau sangat rapuh dan selalu jatuh.
Ya, benar! kekuatan itu pastilah akan datang serta membuatmu lebih bisa tegar dalam dunia ini. Namun sepertinya resep itu tak mau bekerja di pagi ini. Kau coba untuk menenangkan diri dengan lamunan sambil mendengarkan lagu-lagu yang aku dan kau suka. Lagu-lagu yang menjadi kenangan bagi kita dan seakan de javu akan berulang untuk kesekian kalinya walaupun hanya dalam lamunan. Kau tetap terdiam, katamu sambil mengirim lagi pesan yang segera membangunkanku dari lamunanku tentang kenangan itu.
“pak zu….”
Sebuah pesan singkat yang menunjukkan kegalauanmu.
“Iya yut, ……”
Dan segera pesan-pesan lain berulang-ulang aku kirim dan kauterima. Kau juga membalas berbait-bait pesan itu hingga di pesan terakir kau kirim pesan yang tak bisa aku menjawabnya. Aku jawab tapi tak seperti yang kau harapkan karena aku lebih memilih melakukan ketidak pastian dam suatu kemungkinan dan keyakinan. Sementara kamu lebih memilih keyakinan dalam kepastian. Mengapa di dalam hal yang paling penting ini kau dan aku justru mengalami perbedaan.
*****************************************************************************
Hari kelima setelah perpisahan kita, terasa begitu membuatku terpuruk. Tak ada satupun karya yang selesai kukerjakan. Aku tak tahu kabar tentangmu lagi. Kau kembali raib. Maka pagi itu juga aku pacu jantungku untuk mneyusulmu ke rumahmu. Barangkali kau sudah berada di rumah. Karena yang bisa kembali mengobati kegalauamu hanyalah ibu. Seorang ibu lebih memahami seorang anaknya ketimbang seorang kekasih sekalipun. Karena ikatan batin ibu dan anak lebih kuat, lebih pasti
Kucari seharian penuh dimana rumahmu dan hingga jam 21.00 aku tak juga menemukannya. Aku tersesat di kota ini. Kota yang begitu asing bagiku karena ini kali pertamanya aku berada di sini. Putus asa sudah diriku yang begitu tak dapat menguasai fikirku, perasaanku. Aku lebih dikendalikan oleh luapan emosi yang terus menyala dikipasi oleh syetan-syetan yang beberapa hari ini dengan rela dan senang hati menemaniku. Di alun-alun ini aku menemukan tempat kembali. Masjid! Ya masjid yang berdiri dengan kokohnya dengan kubah besar bulat. Di sana lah tempat untuk kembali dalam kepastian.
Didalamnya sepi tak satupun kulihat manusia yang mau menyinggahi tempat yang suci ini. Tempat ini justru sepi melenggang. Namun di sisi kiri sebelah pojok depan tampak olehku sesosok dalam balutan mukena biru. Kembali membuatku dalam de javu dua bulan lalu saat kau dan aku masih bersama. Kau kenakan mukena biru saat kau dan aku kembali kepadanya. Menghadap sang khalik dan menjadikan hatiku, hatimu tak pernah gundah lagi. Barang kali kegundahanku selama ini karena aku terasa sepeti menjauhiNYA. Padahal dulu kau dan aku selalu meyakini kalau Dia selalu dekat dengan diri kita.
Malam ini, di kota yang asing bagiku aku menemukan tempat yang begitu sangat aku kenali. Tempat untuk menghilangkan kegundahan dan kembali dalam keyakinan menapaki samudera kehidupan. Dalam sujudku menetes berpuluh butiran bening, tak dapat kutahan. Barangkali hanya kau, dan beberapa sahabat saja yang hafal kapan butiran bening pasti menetes dari kedua bola mataku. Kau tak pernah bilang itu cengeng. Ya, aku cengeng ketika dihadapan Tuhanku. Dalam sujud terakirku kudengrkan de javu lantunan suaramu yang begitu merdu melantunkan ayat-ayatNya.
‘Fa bi Aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…”
‘nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan”
Ayat yang mengembalikanku kepada kenyataan dan keyakinan bahwa semua pasti akan kembali kepadaNya. Namun sebelum tiba waktu itu, setiap manusia memiliki sebuah tugas di dunia ini yang harus diselesaikan. Tugas akan adanya dia. Dan tugas itu akan terejawantah dan terintegralkan dalam turunan-turunan yang semakin banyak. Lantas salah satu tugas itu adalah mensyukuri nikmat Tuhan. Kenapa bersyukur? Karena dengan bersyukur seseorang akan terbawa dalam kesadaran dimana dia sedang berada dan apa yang mesti dilakukannya.
Malam yang sunyi ini mengantarkanku kepada jawaban-jawaban yang selama ini kucari. Kembali, ya kembali adalah yang selama ini kurisaukan. Kembali kepada diriku sendiri dan memahami siapa sebenarnya aku. Kembali lagi kudengar lantunan ayat itu.
Kali ini semakin dekat dan semakin keras dengan beberapa orang yang mengucapkannya.
‘Fa bi aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…’
‘maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan.;
Tuhan aku merasa tak pernah untuk mendustakan nikmat yang telah Kau beri. Aku selalu mencoba untuk bisa bersyukur kepadaMU. Namun malam ini, hari ini tepatnya aku linglung, bimbang dengan yang kurasa.
*****************************************************************************
Di balik tirai kuning itu kau masih menunggu dengan penuh harapan. Kini tirai kuning itu telah tersibak oleh ku. Tangan kanan ku menyentuhnya, tapi……, disana tak kutemukan jua dirimu yang menanti karena kau telah memilih untuk yang pasti. Kau lebih memilih untuk pergi. Karena aku terlambat barangkali. Kau telah memilih untuk menjauh dariku. Tapi aku yakin di fikirmu akan tetap terpatri dengan kokoh diriku di sana. Sebuah kemunginan dan kepastian.
Lantas kau sekarang sedang dimana? Di tirai yang mana? Dapatkah aku menemukanmu? Bahkan aku baru sadar kalau tirai yang kau maksud itu bukanlah sebenarnya tirai. Itu adalah fatamorgana seperti yang ada di gurun pasir. Saat itu istri Baginda Nabi Ibrahim ingin mencari air untuk minum anaknya, Ismail. Ia berlari kesana kemari seakan air itu begitu dekat dengannya. Dia melihat genangan demi genangan yang dapat menghapus rasa dahaganya dan dahaga bayinya. Namun sepanjang ia berlari yang diketemukannya hanyalah pasir-pasir gurun yang terbaur dengan angin saat angin bertiup dengan begitu angkuhnya.
Tapi tiba-tiba air dalam fatamorgana itu sangat dekat. Dibawah kaki sang bayi. Mengucur begitu derasnya hingga mampu untuk menghapus dahaga sebanyak manusia yang menginginkannya. Dan saat itu aku tersadar kalau tirai itu memang dekat denganku. Tak hanya denganku tapi dengan semua makluk. Tirai itu adalah sang surya yang tiap hari memanggang para kuli-kuli yang bekerja. Aku baru menangkap sasmitha darimu kalau yang kamu maksud adalah sinar surya yang membakar. Kau butuh seseorang yang akan melindungimu dari sengatannya. Maka aku kan datang untuk menyibaknya. Menyibak tirai itu dan menjadikanmu merasa nyaman terlindungi darinya.
Aku akan terus mencari sampai tirai yang sedang menyembunyikanmu kutemukan. Aku yakin sekarang kalau kamu masih tetap menungguku entah dimana. Karena sang mentari terus bersinar melingkupi seluruh daratan serta lautan di bumi ini. Selama bumi ini masih merasakan sinar kasihnya berarti kau masih tetap ada untukku. Ya, sekarang aku begitu yakin serta merasa dekat denganmu. Tak hanya denganmu tapi juga dengan Tuhanku.
Kembali lagi ayat itu yang kudengar dan kini aku tersadar aku sedang berada di dalam masjid. Tapi bukan masjid yang tadi. Kini aku berada di sebuah rumah tepatnya. Sayup-sayup kubuka kedua mataku yang kelelahan dan kupandangi wajahmu hadir di depanku. Aku kembali bermimpi lagi.
“Pak zu…. Sudah bangun…?”
Tapi ini benar-benar suaramu. Aku tidak bermimpi. Ya aku sedang bersamamu. Aku baru tersadar kalau sedari tadi aku sedang tidur di kamar yang biasa kau tidur di sana. Siang ini aku mengigau lagi untuk yang entah ke berapa. Kau tetap setia untuk menungguiku dan merawatku. Aku mengigau seakan takut karena aku tak kan menemukanmu lagi. Takut akan ada tirai-tirai penghalang lagi yang akan menghalangi keyakinanku dan keyakinanmu. Mengembalikan ke dalam ruang ketidak pastian.
Aku sadar sekarang aku masih nyata di sini dalam dekapan perawatanmu. Aku sakit. Aku demam. Tapi rasa sakit ini hanya seperti saat kau merasakan minum obat saja. Tak begitu terasa. Justru aku sedang sakit fikir. Sedang kelelahan.
“Iyut…., jam berapa?”
“Jam 2 pak…., kamu belum sholat dhuhur… ayo bangun kita jamaah.”
Dan inilah sasmitha itu. Kembali menghadapMU ya Tuhan. Disaat aku sedang tak punya pegangan Engkau menghadirkan kekuatan lewat dia yang selalu ada untukku. Disaat aku dalam kebimbangan Engkau dekatkan dia padaku untuk mencapai ridhaMU. Aku kembali dalam ketidak pastian ini menghadapMu bersama dengannya. Kita berdua akan kembali kepadaMU.
“Allahu akbar.”


Semarang, 22 maret 2011. 10.23 A.M
(dalam sebuah ketidak pastian di bawah atap yang sedang terombang-ambing)
untuk yang sedang ditunggu tanpa sebuah kejelasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar