Senin, 28 Maret 2011

sebuah kritik sastra feminisme

Gerakan Gender Sastra Kita
Oleh Zubaidi Duncan Zu_ Reporter Rem fm UNNES
Feminisme muncul dengan adanya sebuah pemikiran dari para wanita yang ingin menempatkan dirinya sejajar dengan laki-laki di berbagai aspek kehidupan , memiliki hak yang sama. Sejalan dengan hal tersebut di berbagai belahan dunia muncul gerakan-gerakan untuk mencoba menggeser superioritas laki-laki terhadap perempuan. Gerakan ini kini sudah bisa dipandang tampak menunjukkan hasil-hasil dari perjuangannya. Posisi perempuan sudah bisa sejajar dengan laki-laki. Ya, gerakan ini tentunya berhasil dengan dukungan segenap kesatuan masyarakat untuk memecah paradigma lama dan mencoba merekonstruksi paradigma baru yang menjadikan posisi wanita tidak lagi berada dalam bayang-bayang laki-laki.
Feminisme sudah merambah ke berbagai aspek kehidupan dan budaya masyarakat, termasuk di bidang seni dan sastra. Sastra dan kritik feminism sudah muncul beberapa puluh tahun silam dengan salah satu penggagasnya yakni Madam Cixous yang menegaskan para perempuan untuk menulis tentang diri mereka. Lalu di Negara-negara lain pun mengikuti perkembagan sastra di bidang feminism itu sendiri, bahkan sebelumnya juga gerakan-gerakan seperti ini sudah ada.
Tentunya gambaran gerakan ini dalam bidang sastra sendiri tampak jelas sangat berbeda apabila penulis sastra adalah seorang perempuan. Dengan kodratnya sebagai wanita, mereka mampu merepresentasikan diri mereka sendiri tanpa harus mengenal batas-batas patriarchal yang selalu membelenggu mereka, sebaliknya akan tampak berbeda jika yang menulis adalah seorang pengarang laki-laki. Pengarang laki-laki pasti akan menyorot dengat sudut pandangnya sebagai laki-laki karena pada hakikatnya ia adalah laki-laki, sekalipun ia adalah seorang yang mendukung gerakan feminisme.
Gerkan feminism di Indonesia sudah dimulai sejak masih dalam ranah kolonialisme dimana lahir seorang bangsawan jawa bernama Kartini. Lalu ada Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia yang terjun langsung dalam memimpin pertempuran gerilya melawan kolonilis. Sementara dalam bidang sastra, feminisme juga sudah mulai terasa pada saat kolonialisasi diambil alih bangsa dari negeri sakura. Sebut saja Maria Amin, seorang penyair yang hidup di zaman itu ia telah berhasil membuat puisi prosais yang belum ada sebelumnya di Indonesia. Akan tetapi ia tak begitu banyak dibahas dalam kritik. Kritik lebih suka menyebut Chairil yang membawa perubahan besar perpuisian Indonesia. Padahal sebelumnya Maria Amin sudah mendahuli Chairil dalam pembuatan puisi yang bebas.
Lalu berkembang lagi di era Balai Pustaka dengan lahirnya belenggu dan layar terkembang. Namun dua novel ini lahir dari tangan laki-laki sehingga sudut pandangnya pun tak lain juga dari laki-laki. Sementara sekarang sudah mulai banyak terekspos karya-karya dari tangan perempuan yang dapat membuat lega kalangan feminis. Sebutlah NH Dini, Titie Said, Titis Basino, Poppy Hutagalung, dan Isma Sawitri. Kemudian di awal abad 21 ini hadir juga meramaikan khazanah gerakan feminism dalam sastra kita bahkan membuat geger beberapa fihak. Beberapa pengarang wanita seperti Ayu Utami, Dewi Lestari berbicara dengan lugas dan penggambaran yang real dan bebas mengenai wanita dalam hal yang paling intim dan seksualitas lewat karya-karyanya.
Setiap perkembangan sastra pasti tak akan luput dengan berkembangnya kritik terhadap sastra. Karena kritik-kritik ini lahir untuk memompa kreatifitas kesusastraan supaya lebih berkembang dan semakin bertambah baik. Krtik-kritik ini juga akan melahirkan teori-teri sastra dan akan ikut serta menjaga sejarah sastra. Sastra angkatan 2000 ini pada akirnya mendapat tantangan keras dari berbagai fihak, sesama sastrawan,budayawan serta para kritikus sastra itu sendiri. Hal ini dikarenakan penulis-penulis tersebut melakukan suatu terobosan yang mungkin terlalu jauh ke depan dimana belum saatnya serta kemungkinan tidak pas kalau diaplikasikan di ranah nasional kita sebagai bangsa timur.
Lahirnya novel-novel seperti karya Ayu Utaami ini juga tidak luput karena pengaruh era yang semakin tanpa batas, era global. Era dimana informasi dari belahan dunia yang sangat jauh seperti hanya terjadi di samping rumah kita. Pertukaran informasi dan budaya semakin begitu cepat. Maka jikalau di Negara barat misalnya gerakan feminisme sudah mencapai titik tinggi maka di Negara lain pun juga bisa seperti itu. Dan seakan gerakan yang dulunya hanya sebagai gerakan kecil terpecah-pecah di masing-masing Negara, kini sudah mengglobal sebagai satu gerakan seluruh wanita di dunia.
Kembali kepada sastra feminisme Indonesia angkatan 2000 ini agaknya memang perlu untuk dibicarakan lagi sebagai sarana dialogis dalam budaya sehingga bukan pertentangan yang diharapkan melainkan hasil dari yang disepakati berbagai kepentingan. Khazanah budaya Indonesia yang didalamnya terdapat budaya-budaya lokal agaknya akan lebih menarik bila digambarkan dalam karya-karya sastra. Sehingga tidak gambaran wanita secara umum tapi ada kekususan dan keunikan yang justru akan bisa mengangkat budaya nasional kita, tidak melebur dan tereduksi dalam budaya dunia yang tak jelas arahnya.
Sebuah kelegaan karena novel yang beraliran feminism hadir di awal tahun 2010 yang cukup menarik karena lebih mengutamakan budaya bangsa kita. De Lief De, sebuah seri kedua dari tetralogi De Winst. Tergambar beberapa tokoh wanita dalam novel itu untuk berjuang dalam aktualisasi diri. Sebut saja Sekar Prembayun seorang anak dari golongan Keraton Mataram yang terpecah menjadi empat akibat dari pengaruh kolonialisme. Beruntung dia seorang anak priyayi karena tentunya lebih berkesempatan untuk mengenyam pendidikan yang cukup tinggi. Lalu berbekal intelektual yang dimilikinya ia mulai ikut andil dalam perjuangan negeri yang sedang terjajah itu. Ini akibat pengaruh dari gerakan-gerakan pejuang Indonesia di jaman itu yang sudah mulai menggunakan media sebagai alat perjuangan. Dan Sekar hadir pula ikut menyuarakan hatinya lewat tulisan-tulisannya yang kemudian membuat ia diasingkan ke Tanah Belanda.
Selain Sekar ada lagi beberapa tokoh wanita yang menjadi point utama penggambaran perjuangan wanita dalam ranah kesetaraan gender yang diwakili oleh advokat perempuan berkebangsaan belanda bernama Kareen. Seorang Belanda yang memilih berkarir sebagai advocate dan lebih mendukung kaum terjajah. Sebuah keberanian yang besar apabila kita memperhatikan karena ia hidup di daerah jajahan. Lalu ada pula perempuan bernama Sophie yang lebih memilih kehidupan sebaga jurnalis bergaji sedikit dari pada berada dalam bayang-bayang kekayaan ayahnya yang seorang anggota parlemen.
Disinilah terdapat adanya sebuah perbedaan pada novel angkatan 2000 sebelumnya dengan novel karya Afifah Afra. Barangkali Afifah Afra lebih dikenal sebagai penulis karya fiksi berbasis agama. Namun dalam novel ini ia menyuguhkan hal lain dimana lebih menonjolkan sisi-sisi perjuangan perempuan dalam beraktualisasi diri sebagaimana sekarang ini arah itulah yang dituju oleh kaum perempuan itu sendiri sekalipun tema tentang agama terselip di dalamnya.
Nah, ini merupakan suatu yang unik. Walaupun sama-sama bergerak untuk menetang budaya patriarkhi, namun keduanya mempunyai cara yang berbeda. Hal ini juga karena background kedua penulis juga berbeda. Barang kali ayu utami lebih terpengaruh oleh globalisasi dimana batas budaya antara Negara satu dengan Negara yang lain hampir tak kentara karena budaya sekarang adalah budaya satu, Budaya Global. Pengaruh dunia global membuat semua budaya melebur jadi satu. Namun karena di era global ada Negara yang lebih unggul dibanding Negara lain maka Negara berkembang agaknya banyak yang mengekor Negara maju tanpa bangga akan budaya yang dimiliki.
Sebuah karya sastra adalah merupakan media yang paling baik untuk meyampaikan suatu ideologi karena melalui suatu karya pembaca akan dibawa ke dunia tertentu yang dapat menjadikan emosinya seperti berada dan menjadi bagian dari dunia tersebut. Pembaca akan mudah menangkap dan terpengaruh oleh ideology itu karena seolah-olah ia sangat dekat dengan ideology itu. Hal ini berbeda apabila ideology disampaikan melalui media lain. Tentu akan lebih sulit untuk mempengaruhi pembaca karena kurang adanya ikatan emosi. Sehingga apabila sastra digunakan untuk membawa gerakan feminism niscaya akan sangat mempercepat ideology itu sampai pada masyarakat.
Walaupun karya sastra dipandang baik apabila ia tidak punya maksud tertentu terkait ideology ataupun tidak secara nyata eksplisit menympaikan suatu pesan, nmamun perlu kita sadari bahwa dia adalah produk drai seorang sastrawan yang hidup dan menjadi bagian dari masyarakat. Secara tidak langsung ia akan menuli sesuatu yang berkenaan dengnmasyarakat dimana ia hidup dan ideology yang ia anut. Maka dari itu tak emnherankan jika banyak karya sastra yang lahir dengan mmbawa ideology-ideologi tertentu.
Hadirnya sastra feminis telah membawa dampak yang cukup signifikan karena pada akirnya wanita-wanita Indonesia sekarang sudah banyak kita lihat kiprahnya di ranah publik. Sebagai pemimpin juga tidak jarang kita temui sosok-sosok wanita. Namun agak ironis kalau suatu saat karena pengaruh sastra yang dinilai begitu vulgar akan mempengaruhi wanita menjadi berlebihan dan melampaui batas. Apa yang akan terjadi kalau mereka juga akan menerapkan di kehidupan nya kevulgaran-kevulagaran itu? kita harap ini tak akan pernah terjadi, semoga!
Dalam hal ini perlu adanya penyeimbang dalam khazanah sastra kita yang bergerak di bidang gender. Kalau sebagian karya menyoroti wanita dengan kevulagaran-kevulgarannya, maka di sisi lain harus ada yang menyoroti bagian lain yakni anti kevulagaran itu sendiri. Sekalipun hal ini akan mengundang banyak kontriversi. Kalau harus kembali pada anti kevulagaran, apakah itu bukan berarti kembali kepada patriarchal? Suatu tanda tanya besar yang harus dijawab oleh semua bangsa Indonesia.
Budaya patriarchal yang seperti apa yang ingin dirubah? Mungkin pertanyaan ini akan dapat membawa kita kepada jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Karena sebenarnya budaya patriarchal terhadap perempuan di negeri kita sepertinya juga sudah mulai berkurang. Mungkin kita masih bertanya-tanya tentang jodoh ataupun sekolah yang mana di desa perempuan masih ada yang dibawah bayanganbudaya belum sepenuhnya merdeka. Misalnya, di usia yang melampaui 25 jika seorang perempuan belum menikah maka akan menjadi suatu tanda Tanya besar bagi masyarakat. Seolah-olah tidak laku yang menjadi paradigm yang masih mengakar dan dianut. Namun kalau kita perhatikan lebih lanjut sekarang budaya ini sudah mulai mengaktualisasikan diri dan bisa megikuti budaya modern dengan tetap menjunjung tinggi budaya sendiri dimana jika belum menikah diusia itu sekarang ada istilah yang cukup baik yakni karena lebih memilih menjadi wanita karir.
Mengenai budaya, khususnya budaya kita yang harus kita jadikan acuan adalah bagaimana kita mampu mereinterpretasi dan melakukan dialog dengan zaman. Budaya kita bukanlah budaya yang tertinggal seperti sebagian orang persepsikan. Budaya kita justru merupakan budaya yang besar dimana ini menjadi cirri khas dari diri kita sendiri. Karena budaya itu tidak berkembang kearah yang pasti sepeerti sebua perlombaan yang ada start dan ada ending-nya. Budaya itu terbentuk dari masyarakat. Jadi disinilah perlunya pembicaraan mengenai budaya dan penfsiran kembali bagaimana seharusnya budaya yang kita miliki itu dan ke arah mana akan kita bawa tanpa adanya pertentangan-pertentangan.
Nah, jikalau budaya feminism Indonesia dapat mempunyai ciri khas tersendiri, lalu mengapa kita harus mereduksikan diri? Nah, inilah yang mungkin menjadi alternatif untuk menyuarakan gerakan gender dalam khazanah sastra kita. Kita bisa memasukkan budaya sendiri seperti yang digambarkan oleh Afifah Afra dalam novelnya itu. Di novel tersebut tergambar para perempuan Indonesia dan Belanda yang memperjuangkan idealisme mereka dengan cara-cara yang mereka bisa lakukan. Dengan cara seperti ini maka sastra kita akan mampu menjadi acuan gerakan perempuan yang benar-benar berbasis nasionalisme kita. Dalam hal ini diperlukan adanya pendefinisian ulang mengenai bagaimana wanita Indonesia di zaman sekarang dan masa depan?
Wanita Indonesia tetaplah akan menjadi wanita Indonesia sekalipun terpegaruh oleh budaya-budaya lain. Yang menjadi alternative adalah bagaimana bisa beradaptasi dengan budaya yang mempengaruhi dengan tanpa meleburkan diri sampai batas tak terkenali lagi. Sehingga novel-novel yang memperjuangkan wanita TKW, wanita Jawa yang mengenyam pendidikan sampai tingkat Doktor di luar negeri, dsb akan membuka wacana yang baik untuk membuat pemikiran semakin berkembang e arah yang pasti serta tujuan yang jelas, yakni menjadi pribadi yang unggul sejajar dengan wanita-wanita bangsa-bangsa yang dianggap lebih unggul-bangsa Barat.
Saya kitra itulah yang mungkin akn membuat gerakan gender pada sastra kita tampak jelas sebagai suatu karakter bangsa yang mempunyai ciri yang khas. Dan semoga akan ada karya-karya yang seperti Afifah Afra angkat dalam novelnya.
Di akhir tulisan ini saya berharap akan hadir karya-karya sastra kita yang mengangkat tema-tema suara perempuan yang benar-benar mengangkat budaya perempuan Indonesia masa kini dengan tanpa mereduksi ke budaya lain sekalipun budaya lain tampak lebih unggul di mata sebagian orang. Karena dengan begitu sastra kita akan dapat menjadi simbol dari bangsa kita sendiri, bukan? Semoga tuisan ini dapat menjadi bahan perenungan ulang untuk kebudayaan kita di masa mendatang-dalam karya-karya fiksi tahun-tahun ke depan. Harapan saya akan adanya feedback terhadap tulisan saya ini akan dapat membantu saya untuk lebih memahami budaya sendiri khususnya tentang perempuan dari sudut pandang orang lain. Trima kasih…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar